Para
pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah merancang Lambang
Negara: Garuda Pancasila, di mana kaki-kaki burung Garuda mencengkram
kuat sebuah pita yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Lambang Negara itu mempunyai arti yang
sangat dalam tentang cita-cita kemerdekaan di mana bangsa Indonesia
diharapkan bangkit dari berbagai keterpurukan akibat penjajahan, menuju
kepada Indonesia merdeka yang rakyatnya hidup makmur, berbahagia, toto
tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, subur kang saro tinandur,
murah kang sawo tinuku.
Demikian kira-kira cuplikan
pidato-pidato Bung Karno yang berulang-ulang beliau sampaikan kepada
rakyat Indonesia selama hidupnya.
Cengkraman kuat kaki-kaki burung garuda
pada pita itu lebih jauh dapat ditafsirkan bahwa untuk mencapai
kejayaan, bangsa Indonesia harus berlandaskan pada prinsip-prinsip
persatuan dan kesatuan, seperti apa yang dilakukan oleh leluhur kita di
masa lampau, di saat adanya proses sintesa antara agama Hindu dari sekte
Siwa Sidanta dengan agama Budha dari sekte Mahayana.
Ketika itu para pemimpin, rohaniawan,
dan cendekiawan dari masing-masing agama menyadari bahwa hakekat agama
Siwa dan Budha sebenarnya sama, yakni menuju pada kebenaran akhir yang
tertinggi, sehingga Mpu Tantular mengungkapkannya pada Lontar Sutasoma:
HYANG BUDDHA TANPAHI SIWA-RAJA-DEWA, RWANEKADHATU WINUWUS, WARA BUDDHA WISWA; BHINNEKI RAKWA RING APAN KENA PARWWA NOSEN, MANGKA JINATWA LAWAN SIWATATTWA TUNGGAL, BHINNEKA TUNGGAL IKA TAN HANA DHARMA MANGRWA
Sejarah membuktikan bahwa prinsip yang
digoreskan Mpu Tantular tidak berarti bahwa timbul agama baru yang
disebut Siwa-Buddha, kemudian agama Hindu dan Buddha masing-masing
menghilang.
Agama Hindu (sekte Siwa-Siddanta) dan
agama Buddha (sekte Mahayana) tetap ajeg, dan para pemeluknya hidup
rukun damai berdampingan, saling menghormati dan menyayangi, sekali lagi
dengan prinsip kuat: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.
Bukti sejarah dapat juga dilihat pada
prasasti Singasari (1273) “Lumah ri Siwa-Buddha” dan di Nagarakrtagama
(43.5) di mana Krtanagara disebut “Mokteng Siwa-Buddha loka” Inilah yang
mengilhami para pendiri NKRI, bercita-cita agar bangsa Indonesia tetap
jaya karena berpegang teguh pada prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan
dalam perbedaan-perbedaan yang ada.
Apa upaya-upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan?
Kita bangsa Indonesia harus mempunyai
pandangan bahwa setiap agama membimbing umat/ pemeluknya untuk mencapai
kesempurnaan hidup, kesejahteraan lahir dan bathin, artinya tujuannya
sama, walaupun caranya berbeda. Demikian pula mengenai suku dan ras,
walaupun berbeda tetapi kita sudah menjadi satu bangsa, yakni bangsa
Indonesia.
Untuk menjaga persatuan dan kesatuan,
tidak pantas kalau masing-masing kelompok agama, suku, dan ras
berlomba-lomba menonjolkan ciri-ciri perbedaan yang ada secara terbuka.
Baik ciri-ciri atau atribut-atribut yang berhubungan dengan agama, adat
istiadat, maupun budaya.
Apalagi dengan slogan-slogan tertentu
atau kalimat-kalimat tertentu yang bersumber dari kitab suci, upanisad,
tafsir, dll. Yang kalimatnya melecehkan atau merendahkan agama, suku,
dan ras yang lain. Singkatnya bila kita bertemu dengan sesama bangsa,
agar tidak timbul pikiran tentang perbedaan: suku, ras, dan agama.
Kalau seseorang berpakaian dengan
ciri-ciri khas suatu agama di tempat-tempat pertemuan umum, orang lain
yang kebetulan berbeda agama, akan terlintas dalam pikirannya: “Oh orang
ini berbeda dengan saya” Apalagi bila di sebuah sekolah yang berada di
lingkungan pemeluk agama tertentu, di mana mayoritas muridnya mengenakan
busana dengan atribut khas, maka murid yang beragama lain pasti akan
merasa berbeda, dan menyisih dari pergaulan. Inilah yang kita lihat
sebagai bibit awal perpecahan.
Dalam membina kesatuan dan persatuan
bangsa Indonesia hendaknya Pemerintah berlaku adil kepada kelompok
mayoritas dan minoritas dalam bidang suku, agama dan ras. Tidak
membedakan pelayanan dengan mengutamakan kelompok mayoritas lalu tidak
memperhatikan kelompok minoritas.
Setiap warga negara Indonesia, apapun
sukunya, apa pun agamanya, dan apa pun ras-nya hendaknya diberikan
kesempatan yang sama di semua bidang birokrasi. Benar bahwa UUD telah
menyatakan demikian. Namun apa yang kita lihat pada aplikasinya?
Misalnya saja: apakah seorang warga negara Indonesia yang beragama Hindu
bisa menjadi Presiden RI?
Oleh karena itu marilah kita merenung,
agar tidak sia-sialah pengorbanan para pejuang yang telah gugur membela
kemerdekaan NKRI. Kita wajib mewujudkan apa yang dicita-citakan mereka
demi kejayaan Nusa-Bangsa dan anak-cucu di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar