Minggu, 29 September 2013

Galungan - Rangkaian Upacara dan Makna Filosofinya



Galungan - Rangkaian Upacara dan Makna Filosofinya
TUMPEK WARIGA
Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
ANGGARA KASIH JULUNGWANGI
Hari Anggara, Kliwon, Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha dengan mecaru alit di Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan pembersihan area menjelang tibanya hari Galungan.
BUDA PON SUNGSANG
Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung. Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma).
Oleh karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma.
Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan.
SUGIAN JAWA
Hari Wraspati, Wage, Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta).
SUGIAN BALI
Hari Sukra, Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
PENYEKEBAN
Hari Redite, Paing, Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi.
Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
PENYAJAAN
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.
Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).
PENAMPAHAN
Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa.
Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat).
Secara simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia.
Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut:

  1. lamak simbol Reg Weda,
  2. bakang-bakang simbol Atarwa Weda,
  3. tamiang simbol Sama Weda, dan
  4. sampian simbol Yayur Weda.
Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning.
Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
GALUNGAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan di Pura, Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu.
MANIS GALUNGAN
Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya.
Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
PEMARIDAN GURU
Hari Saniscara, Pon, Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.
ULIHAN
Hari Redite, Wage, Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan, Bhatara-Bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan di Pura atau Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.
PEMACEKAN AGUNG
Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.
PENAMPAHAN KUNINGAN
Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa, Sada Siwa, Parama Siwa).
KUNINGAN
Hari Saniscara, Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari.
Manusia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas wara nugrahanya berupa kekuatan dharma serta mohon agar kita senantiasa dihindarkan dari perbuatan-perbuatan adharma.
Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya Galungan – Kuningan.
Selain itu menggantungkan “tamiang” di Palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan adharma.
PEGAT UWAKAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa.

Jumat, 20 September 2013

Pandangan Politik dalam Hindu



Pandangan Politik dalam Hindu.
Bagi pemeluk Hindu etika berpolitik terdapat dalam kitab suci Veda yaitu Rgveda, Yajurveda, Samaveda, dan Atharvaveda.

Politik dalam Veda menitikberatkan pada kewajiban pemimpin pemerintahan dan rakyat untuk bersama-sama menegakkan kejayaan bangsa dan negara, yang dikenal dengan istilah “dharma negara”.

Bentuk pemerintahan menurut Veda adalah berkedaulatan rakyat:

MAHATE JANARAJYAYA (YAJURVEDA IX. 40)
Semoga Tuhan membimbing kami ke sebuah negara yang berkedaulatan rakyat.
Lebih jauh diulas pula bahwa rakyat yang merdeka, sejahtera dan berdaulat adalah kekuatan utama bagi tegaknya suatu bangsa:

UTTARAM RASTRAM PRAJAYA UTTARA VAT (ATHARVAVEDA XII.3.10)
Para politisi yang bersaing menguasai pemerintahan disyaratkan dalam Veda agar selalu memperhatikan kepentingan rakyat karena landasan seorang pemimpin adalah rakyatnya:

VISI RAJA PRATISTHITAH (YAYURVEDA XX.9)
karena itu pemimpin hendaklah berupaya meningkatkan kualitas rakyat:

PRA JAM DRMHA (YAYURVEDA V.27)
memelihara kesejahteraan rakyat:

SIVAM PRAJABHYAH (YAYURVEDA XI.28)
membahagiakan rakyat:

PANCA KSITINAM DYUMNAM A BHARA (SAMAVEDA 971)
memperhatikan keluhan rakyat:

VISAM VISAM HI GACCHATHAH (SAMAVEDA 753)
dan memakmurkan rakyat:

PRAJAM CA ROHA-AMRTAM CA ROHA (ATHARVAVEDA XIII.1.34)
Sebaliknya rakyat pun wajib mematuhi perintah-perintah pemimpin bangsa:

TASYA VRATANI-ANU VAS CARAMASI (RGVEDA VIII.25.16)
selalu waspada pada hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan bangsa:

VAYAM RASTRE JAGRYAMA PUROHITAH (YAYURVEDA IX.23)
dan berani berkorban untuk kejayaan bangsa:

VAYAM TUBHYAM BALIHRTAH SYAMA (ATHARVAVEDA XII.1.62)
Kutipan-kutipan ayat-ayat suci yang disebutkan di atas memberikan batasan kriteria, kualitas pemimpin yang bagaimana patut dipilih oleh rakyat agar rakyat mendapatkan hak-haknya sebagai warganegara dan kewajiban politik apa pula yang perlu dilakukan oleh rakyat.

Rakyat tidak dibenarkan untuk pasif atau apatis dalam kegiatan politik baik sebagai pemilih maupun tergabung dalam kegiatan politik praktis, karena itu merupakan swadarma warganegara dalam wujud bhakti.

Berbicara mengenai “Bhakti” dalam pengertian Veda, adalah “Cinta” kepada Hyang Widhi. Dalam mewujudkan cintanya kepada Hyang Widhi, antara lain manusia diwajibkan untuk “bekerja” atau “berbuat” sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita:

III.5: NAHI KASCITY KSANAM API JATU TISTHATY AKARMAKRIT, KARYATE HY AVASAH KARMA SARVAH PRAKRITIJAIR GUNAIH
(Walau sesaat jua tidak seorang pun untuk tidak berbuat karena manusia menjadi tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksanya bertindak).

III.8: NIYATAM KURU KARMA TWAM KARMA JYAYO HY AKARMANAH, SARIRAYATRA PI CA TE NA PRASIDHYED AKARMANAH
(Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuh pun tidak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya).

Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan ketika tidurpun tanpa disadari jantung tetap berdetak, darah tetap mengalir dan nafas terus berhembus. Hyang Widhi pun setiap detik bekerja tiada henti seperti menggerakkan benda-benda angkasa, menumbuhkan, memelihara, dan memusnahkan kehidupan mahluk-mahluk, menghembuskan angin, meriakkan gelombang laut, dll.

Bhagawadgita III.223.24:

YADI HY AHAM NA VARTEYAM, JATU KARMANY ATANDRITAH, MAMA VARTNA NUVARTANTE, MANSYAH PARTHA SAVARSAH. UTSIDEYUR IME LOKA, NA KURYAM KARMA CED AHAM, SAMSKARARASYA CE KARTA SYAM, UPAHANYAM IMAH PRAJAH

(Sebab kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti, manusia tidak akan mengikuti jalan-Ku itu, dalam segala bidang apa pun juga. Dunia ini akan hancur jika Aku tidak bekerja; Aku jadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia).

Dengan demikian bila seseorang tidak berbuat maka dia akan dilindas oleh arus perputaran dunia yang mendatangkan penderitaan baginya. Manusia sebagai bhuwana alit dan Hyang Widhi sebagai bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai setitik air dalam sungai.

Titik air itu mengikuti dan menyatu dengan sungai sehingga manusiapun mengikuti dan menyatu dengan Hyang Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi menciptakan Hukum Karma bagi manusia dan Hukum Rta bagi alam semesta.

Pikiran adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil suka-duka dalam karma. Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia akan membuahkan karma yang mulia, sedangkan kerja yang dilandasi pikiran hina akan membuahkan karma yang hina pula.

Karma yang mulia menuntun manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita, sedangkan karma yang hina membawa manusia ke neraka. Sasaran kepentingan bekerja adalah untuk masyarakat, kemudian barulah hasilnya antara lain dapat dinikmati oleh diri pribadi.

Dalam keseharian orang menyebut dirinya “saya” yang berasal dari kata “sahaya”, artinya “pengabdi”. Di Bali orang menyebut dirinya “tityang” yang berasal dari kata “titah Hyang (Widhi)” artinya perintah Tuhan. Pengertian lebih luas adalah pernyataan bahwa saya adalah hamba Tuhan yang melaksanakan perintah-perintah-Nya untuk mengabdi pada kepentingan umat manusia.

Hasil dari perbuatan disebut “karma-phala” adalah bagian dari lima kepercayaan dasar umat Hindu yang disebut “Panca Srada”. Hukum karma-phala bersifat universal, berlaku bagi setiap umat manusia di dunia.

Hasil pekerjaan dapat berwujud nyata (skala) dan dapat pula berwujud tidak nyata (niskala). Wujud nyata banyak berkaitan dengan keduniawian, sedangkan wujud tidak nyata berkaitan dengan perasaan tenteram atau sebaliknya.

Ditinjau dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil perbuatan, karma-phala dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Prarabda karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup.
2. Kryamana karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup namun pahalanya diterima di alam nirwana.
3. Sancita karma-phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup, pahalanya diterima pada reinkarnasi/ kehidupan berikutnya.

Oleh karena itu umat Hindu diajarkan untuk bekerja dengan baik agar memperoleh karma yang baik pula. Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma Agama, Susila, dan Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur Purusa Artha, yaitu:
1. Dharma, bekerja dengan mengutamakan kepentingan masyarakat
2. Artha, pahala dari karma berwujud benda keduniawian
3. Kama, pemenuhan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, dll
4. Moksha, kebahagian hidup lahir-batin

Catur Purusa Artha ini urut-urutannya tidak dapat diubah, misalnya mendahulukan artha dari pada dharma. Bila demikian maka manusia akan bekerja tanpa pedoman moral yang bersumber dari ajaran Agama, hal mana akan menyeret manusia ke lembah penderitaan.

Umat Hindu yang religius senantiasa menghubungkan kehidupannya sehari-hari dengan Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa. Hubungan ini disebut “Bhakti” sebagaimana telah diuraikan di atas, yang artinya adalah cinta kasih. Cinta kasih manusia kepada Hyang Widhi hendaknya terwujud pula dalam cinta kasih kepada semua mahluk ciptaan-Nya, terutama kepada sesama manusia.

Dalam kehidupan berpolitik, kasih sayang itu tetap dipegang sebagaimana ditulis dalam kitab suci Bhagawadgita XII.13:

ADVESTA SARVA BHUTANAM MAITRAH KARUNA EVA CA, NIRMAMO NIRAHANKARAH SAMA DUHKHA SUKHAH KSAMI

(Dia yang tidak membenci semua mahluk, yang senantiasa bersikap ramah dan bersahabat, bebas dari rasa keakuan dan kemilikan serta pemaaf, berkeadaan sama dalam kesedihan maupun kesenangan).

Sifat-sifat manusia pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu sifat-sifat “kedewataan” (Daiwi sampad) dan sifat-sifat “keraksasaan” (Asura Sampad).

Sifat-sifat kedewataan adalah tanpa kekerasan, menjunjung tinggi kebenaran, bebas dari kemarahan, tanpa pamrih, tenang, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, welas asih, tidak lobha, sopan, dan rendah hati (Bhagawadgita XVI-2). Selain itu ia juga berani, pemaaf, teguh, murni, tidak dengki, tidak sombong (Bhagawadgita XVI-3).

Sifat-sifat keraksasaan adalah berlagak, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh (Bhagawadgita XVI-4). Ia juga tidak bisa bekerja dengan baik, jauh dari kebajikan dan kebenaran (Bhagawadgita XVI-7). Tidak bermoral, tidak memuja Tuhan dengan mantap, dan penuh nafsu keduniawian (Bhagawadgita XVI-8).

Keranjingan dengan keinginan yang tak terhitung banyaknya yang hanya berhenti pada kematian, memandang pemuasan keinginan sebagai tujuan tertinggi, dan memastikan itulah segala-galanya (Bhagawadgita XVI-11). Dibelenggu oleh ratusan keinginan, yang dipasrahkan pada nafsu dan kemarahan, berusaha untuk menimbun kekayaan dengan cara yang tidak jujur (Bhagawadgita XVI-12).

Bagi mereka yang sifat-sifat keraksasaannya lebih unggul dari pada sifat-sifat kedewataannya, Bhagawadgita-pun memastikan bahwa mereka akan jatuh ke dalam neraka yang menjijikkan (Bhagawadgita XVI-16).

Demikianlah beberapa ulasan dari kitab-kitab suci Agama Hindu yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menghayati hak dan kewajiban politik umat Hindu sebagai warga negara, dan etika dalam menempuh kehidupan berpolitik, semoga ada manfaatnya.

Senin, 09 September 2013

140 Negara Siarkan Kebudayaan Indonesia



140 Negara Siarkan Kebudayaan Indonesia Melalui Miss World
 “Jika ternyata Miss World digelar tanpa bikini, Jadi ajang promosi kebudayaan dan pariwisata indonesia.  Siapkah FPI dan Pemerintah membuat ajang kebudayaan tanpa korupsi dan kekerasan seperti Miss World?”
Saya tidak ingin ikut berpolemik dalam debat ketat soal Miss World, apalagi ini merambah pada wilayah agama, moral dan sebagainya, karena apa yang dikhawatirkan dan didengungkan sebagai elemen masyarakat soal Miss World tidak terjawab, bahkan terbantahkan dengan pembukaan Miss World di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu.
Kebaya, Batik, Tarian Tradisional dan lagu daerah Indonesia menjadi sorotan dunia, 140 Menyiarkan apa yang Indonesia miliki, tidak melulu soal kekerasan, teroris dan korupsi, mata dunia sedikit terbuka bahwa Indonesia adalah negara dengan ribuan pulau, suku dan bahasa daerah terbanyak di dunia sedang mencoba memperkenalkan diri sebagai negara yang kuat dan siap menjadi Negara Besar.
Publik membuktikan sendiri, tidak ada ajang bikini dalam gelaran internasional tersebut, bahkan taburan kemegahan bernuansa kebudayaan tersebut mendapatkan apresiasi dari masyarakat di berbagai belahan dunia. melampaui ekspektasi gelaran serupa di tanah air.
Jika benar penolakan tersebut atas nama ketidaksesuain agama dan budaya, kita berharap elemen masyarakat tersebut membuktinnya saat ini. sehingga ke depan, persoalan serupa tidak terjadi. dimana ajang-ajang internasional yang seharusnya digelar di Indonesia yang bertujuan untuk membawa bangsa ini lebih baik tidak disambut dengan sikap skeptis tanpa dasar, kebencian yang disebarluaskan melalui simbol-simbol agama, bahkan menyerempet ke arah kepentingan politik satu kelompok tertentu.
Saya hanya tidak habis pikir, bagaimana demo-demo yang dimotori oleh FPI, ancama perang dan intimidasi lainnya bisa dibiarkan terjadi di negeri atas nama agama. saya seorang muslim, tapi saya percaya fitnah dan berburuk sangka tanpa dasar juga merupakan bagian dari dosa besar, bahkan sering kita menyebut Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Artinya, apa yang disangkakan oleh FPI tersebut dibuktikan penyelenggara dengan fair dan transparan oleh pihak penyelenggara, tidak ada bikini, bahkan Miss World menjadi ajang kebudayaan yang Pemerintah sendiri tidak mampu melakukkannya.
Paling menjadi tanya adalah, dengan sangkaan yang tidak terbukti tersebut, FPI dengan mudah memfatwakan haram, logika berfikir mana bila sudah memfitnah selanjutnya diteruskan dengan Fatwa haram? apakah FPI sanggup memfatwakan diri Haram bila ternyata ajang Miss World sampai akhir nanti tidak melanggar norma dan budaya bangsa? bila tidak, sesungguhnya untuk siapa FPI bekerja, berteriak menghakimi seseorang atas nama Agama.
lebih bodohnya, Pemerintah tak berdaya, malah ikut-ikutan latah kehilangan perannya sebagai pemimpin dari seluruh agama, suku dan budaya di negeri ini.  alasan yang sama, Pemerintah membatalkan Miss World yang seharusnya di gelar di Sentul, Bogor.
Soal Pemerintah, ada pertanyaan usil di benak saya, saat pagelaran Miss World yang dibuka beberapa hari lalu di Nusa Dua, Bali, saat 140 Negara menyiarkan Batik, Ulos, Kabaya, dan kebudayaan daerah-daerah lain di Nusantara.  Pemerintah kemana? bukankah ajang promosi ini menjadi tanggung jawab Pemerintah?
sementara, bila kita tilik, anggaran Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam pagu anggarang RAPBN TA 2013 ditetapkan sebesar Rp, 2,052 Triliun, bahkan Kemenparekraf mengajukan penambahan kembali sebesar Rp. 811,411 Miliar yang alokasinya untuk inisiatif baru Rp. 694,061 Miliar. Apec 2013 menelan biaya Rp. 78,750 miliar dan pengembangan destinasi pariwisata Rp 38,6 miliar.
Kemana anggaran besar yang dimiliki pemerintah tersebut? toh kunjungan dan perbaikan infrastruktur pariwisata indonesia lebih banyak dikelola pihak swastas. Promosi? untuk ajang sekelas Miss World saja pemerintah tidak terlibat sama sekali, bahkan ikut-ikutan dengan cara berfikir ‘ketakutan’ yang diusung oleh kelompok-kelompok yang selalu mengatasnamakan agama. Publiklah yang menjawab. semoga kita terbebas dari politisasi miss world, fatwa haram dan fitnah serta kebodohan pemerintah yang tak berdaya.