Mengenal
Lebih dekat Neoliberalisme
Oleh: Hasby
Muhammad Zamri
TERBENTANGNYA neoliberalisme tak bisa dilepaskan dari neokolonialisme.
Mengingat benteng ekonomi neolib awalnya dibangun oleh Amerika Serikat dan
Inggris yang memenangkan PD II. Resep neoliberalisme menjadi terkenal setelah
John Williamson memperkenalkan 10 rumusan kebijakan yang disebut Washington
Consensus, yang merupakan kesamaan pandangan lembaga-lembaga yang bermarkas
di Washington DC (IMF, World Bank, dan US Treasury Departement) mengenai
rekomendasi kebijakan bagi negara-negara yang sedang dilanda krisis. Sepuluh
rumusan Washington Consensus dapat disederhanakan menjadi: (1). Pasar
bebas, (2). Deregulasi, (3). Pencabutan subsidi, dan (4) Privatisasi.
Menurut Revrisond Baswir,
neoliberalisme di Indonesia secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia
dilanda krisis moneter pada 1997/1998. Hal itu dapat dilihat dalam berbagai
nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama International
Monetary Fund (IMF). Pada 2006, keterlibatan IMF secara langsung di
Indonesia berakhir. Pelaksanaan agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank
Dunia, ADB dan USAID.
Dalam bukunya, Confession of An
Economic Hit Man, John Perkins memberikan pengakuan: “Aku akan bekerja
membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman sehingga negara-negara itu selamanya
akan terjerat utang. Setelah itu mereka akan jadi sasaran empuk kepentingan
kami (USA), berkait dengan: pangkalan militer, hak suara di PBB, akses ke
minyak bumi atau sumberdaya alam lainnya”. Perkins juga menuliskan bahwa
menurut Charlie Illingworth (atasan Perkins), Richard Nixon (Presiden AS
periode 1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering.
Indonesia ibarat realestate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan
Uni Soviet atau China.
Kajian dari Institute For Global
Justice (IGJ) menyebutkan, setidaknya dari tahun 1998 sampai tahun 2009, kurang
lebih 474 UU telah disahkan. Yang paling menyedihkan adalah UU Bidang Ekonomi
dan Sumber Daya Alam. Ciri umum UU tersebut adalah : (1). Hilangnya campur
tangan negara dalam perekonomian, karena diserahkan kepada mekanisme pasar;
(2). Penyerahan kekuasaan kepada modal besar/asing berkaitan dengan ekspansi
dan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia; (3). Perlakuan diskriminatif
terhadap mayoritas usaha rakyat.
Tak kalah menyedihkan adalah UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Di masa Raffles (1811-1816) saja,
menurut Hatta Taliwang, pemilik modal swasta hanya boleh menguasai lahan
maksimal 45 tahun. Di masa Hindia-Belanda, maksimal 75 tahun. Pada masa Presiden
SBY, melalui UU No. 25 Tahun 2007, pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan
selama 95 tahun. Sebuah ironi yang menggelikan.
Struktur perbankan pun tak kalah
mencekam. Beberapa bank swasta nasional sahamnya dikuasai oleh asing, antara
lain UOB-Buana (98,99% sahamnya dikuasai oleh asing), Bank Ekonomi (98,94%),
CIMB Niaga (97,90%), ICBC (97,83%), BII (97,50%), OCBC NISP (85,06%). Lin Che
Wei (sebagaimana dikutip oleh Tempo.co) mengatakan bahwa penguasaan aset
perbankan nasional oleh bank-bank domestik (swasta maupun BUMN) kian tergerus.
Pangsa aset bank swasta nasional merosot sekitar 20% dari 42% pada 1998 menjadi
22% pada 2011. Begitu pun pangsa aset bank negara yang merosot 9% dari 44%
menjadi tinggal 35% pada periode yang sama.
Fenomena ini tentu saja semakin
menguatkan cengkraman neoliberalisme di Indonesia. Tak mengherankan kalau
sistem ekonomi yang salah kelola ini menciptakan besarnya jurang antara si kaya
dan si miskin. Hasilnya, menurut Asian Development Bank (ADB), jumlah orang
miskin di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 40,4 juta orang. Tahun 2010
meningkat menjadi 43,1 juta orang. Sedangkan Human Development Index (Indeks
Pembangunan Manusia) Indonesia tahun 2010 menempati ranking 108 dari 169
negara. Kemudian tahun 2011 menjadi ranking 124 dari 187 negara.
Pertanyaannya, apakah kita ingin
terus berada pada situasi mencekam seperti sekarang ini, atau ikut ambil bagian
dalam perubahan yang digagas oleh Gerindra?
Sumber: Gema Indonesia Raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar