Minggu, 28 Juli 2013

Tirta Yatra

Seputar Dharma Yatra

Dharma Yatra dalam bahasa sehari-hari disebut Tirta Yatra, namun menurut lontar Sila Krama, Tirta Yatra dibedakan dengan Tirta Gamana.
Bepergian dengan tujuan mensucikan diri, mendalami srada bhakti ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, mengenal Pura-Pura atau tempat-tempat suci dan melaksanakan ajaran agama dalam segala bentuk selama dalam perjalanan, dan setelah selesai kembali ke rumah, disebut Tirta Gamana.
Sedangkan bila tidak kembali ke rumah sampai meninggal dunia di suatu tempat yang disucikan, dinamakan Tirta Yatra. PHDI Pusat dalam bukunya “Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia” terbitan Upada Sastra tahun 1993, menggunakan istilah Dharma Yatra untuk kegiatan dimaksud.
Mempersiapkan diri
Agar tujuan Dharma Yatra tercapai, diperlukan persiapan sebagai berikut:
  1. Kesehatan atau kondisi phisik mendukung
  2. Perlengkapan: banten, alat-alat persembahyangan, pakaian bersih dll. tersedia. Bagi sulinggih, membawa ‘pasiwa kranaan’; bagi para pemangku ekajati membawa dulang, gentha, sangku dll.
  3. Mapiuning di Sanggah Pamerajan. Bila ingin ‘nangkilang’ Raja Dewata (roh leluhur) ke Pura/tempat suci yang akan dikunjungi, boleh ‘ngadegang kampuh lanang-istri’ dibawa bersama-sama me-dharma yatra.
  4. Meneguhkan kemauan untuk me-dharma yatra.
Dalam perjalanan
Selama dalam perjalanan para peserta melakukan tapa, dan brata. Tapa adalah pengendalian diri dalam perbuatan (kayika), perkataan (wacika), dan pikiran (manacika). Kayika parisudha: ahimsa, tan mamandung, tan paradara; Wacika parisudha: tan ujar ahala, tan ujar aperegas, tan ujar pisuna, satya wacana; Manacika parisudha: tan adengkya ri drwianing len, mamituhwa ri hananing karma-phala, masih ring sarwa satwa. Brata adalah: upawasa dan mona-brata. Oleh karena itu akan sangat baik bila dalam perjalanan para peserta melantunkan kekidungan, atau mendengarkan dharma wacana dan me-dharma tula.
Tiba di tujuan
Siapkan banten dan perlengkapan lainnya. Bila di tempat tujuan ada mata air, laut, atau pesiraman, baik sekali untuk mandi/membersihkan diri agar badan segar kembali. Setelah berpakaian yang bersih, tenangkan pikiran, kemudian lanjutkan dengan prosesi persembahyangan sebagaimana mestinya. Bila ngiringang Ida Sulinggih beliau terlebih dahulu akan nyurya sewana. Setelah itu ngaturang banten dan dilanjutkan dengan persembahyangan.  Sementara menunggu Ida Sulinggih nyurya sewana, para peserta dapat melakukan yoga-samadhi.
Pura-Pura yang akan dikunjungi
1. Pura Ponjokbatu, Buleleng
Pura yang terletak di Kecamatan Tejakula ini adalah tempat persinggahan
Ida Danghyang Nirartha pada abad ke 14, dalam perjalanan beliau meninjau daerah Den Bukit dan dilanjutkan ke Lombok. Di tanjung (ponjok) sebelah timur terlihat sebuah perahu yang terdampar ke pantai dimana awak perahunya semua pingsan. Ida Danghyang Nirartha menyembuhkan awak perahu itu, dengan memberi mereka minum dari mata air dipinggir pantai yang muncul atas puja mantra beliau. Selanjutnya Ida Danghyang Nirartha berangkat ke Lombok bersama-sama para awak perahu itu. Dimalam hari, batu-batu tempat Ida Danghyang Nirartha beristirahat, bercahaya. Oleh penduduk setempat disana dibangun pura yang kemudian dinamakan Pura Ponjokbatu.
2. Pura Pulaki dan Pura Melanting, Buleleng
Pura ini berada di Kecamatan Gerokgak. Ketika Ida Danghyang Nirartha tiba di Purancak (Jembrana) dari Blambangan, beliau melihat seekor naga yang besar. Setelah masuk kedalam mulut naga, dilihatnya sebuah telaga yang ditumbuhi bunga tunjung berwarna putih, merah, dan hitam. Ketiga bunga itu dipetiknya; yang merah disumpangkan ditelinga kanan, yang hitam ditelinga kiri, dan yang putih dipegang di dada. Ketika keluar dari mulut naga, istri beliau: Sri Patni Keniten bersama 7 putra/putrinya sangat takut melihat rupa Ida Danghyang Nirartha yang nampak sebagai raksasa dengan warna wajah yang berubah-ubah. Istri dan putra-putrinya lari berhamburan, walaupun berkali-kali dipanggil. Suara panggilan itu terdengar bagaikan guruh yang menakutkan. Sampai dipantai utara Buleleng, ditemuilah istrinya yang sudah kepayahan, dan putrinya  bernama Ida Ayu Swabhawa yang menangis menyesali kehidupan. Ida Ayu Swabhawa mohon kepada ayahnya agar beliau di moksahkan. Ida Danghyang Nirartha memenuhi permintaan putrinya serta memberikan kehidupan abadi sebagai Bhatari/Dewi. Beliau bergelar Bhatari Dalem Melanting, distanakan di Pura Melanting. Pura ini kemudian disembah bhakti oleh penduduk disekitarnya untuk memohon kesejahteraan dan keberuntungan dalam hidup. Istri beliau, Sri Patni Keniten juga mohon hal yang sama. Beliau diberikan kehidupan abadi, bergelar Bhatari Dalem Ketut dan distanakan tidak jauh dari Pura Melanting, yaitu di Mpulaki. Disini kemudian dibangun Pura Pulaki yang disembah bhakti oleh penduduk disekitarnya.
3. Pura Rambut siwi, Jembrana
Dalam babad Dwijendra Tattwa, disebutkan bahwa setelah Ida Danghyang Nirartha diterima oleh Dalem Waturenggong di Gelgel, dan diangkat sebagai purohita, maka Ida Danghyang Nirartha berjalan kearah barat untuk meninjau Bali bagian barat. Sampai di sebuah pura beliau melakukan samadhi, namun disaat itu salah satu gedong pelinggihnya rubuh. Hal ini dilihat oleh seorang penjaga pura yang menangis sedih karena pelinggih itu rubuh. Ida Danghyang Nirartha kemudian memperbaiki pelinggih itu dengan segera. Setelah selesai beliau memberikan sehelai rambutnya yang rontok kepada penjaga pura itu, dengan pesan agar rambut itu di-‘siwi’ (disembah) oleh penduduk disekitarnya. Dimalam hari helai rambut itu bersinar terang. Oleh penduduk setempat pura itu kemudian dinamakan Pura Rambut Siwi.

Selasa, 23 Juli 2013

Salam 5 Cinta





Salam 5 Cinta yang menjadi kebanggan gerakan kaum muda dari Tunas Indonesia Raya (Tidar), salah satu sayap Partai Gerindra, sedang digemakan di Bali. Pasalanya, kelompok kaum muda ini sedang mempunyai hajatan besar di Bali bertajuk Tidar Cup ke-V, yang merupakan even rutin tahunan sayap partai Gerindra ini.
“Pada momen yang berbahagia ini, kami sengaja untuk mengajak para kaum muda untuk berpartisipasi penuh dengan kegiatan yang positif ini. Dan sekaligus kami mencoba mengumandangkan 5 nilai organisasi kami yang disebut 5 Cinta, sebagai prinsip organisasi kami yang mengajak semua kalangan muda untuk terlibat dalam politik secara kreatif. Karena Tidar adalah gaya hidup, Tidar adalah identitas bagi kaum muda,” ujar Cornelius A. Fabian, Sekretaris Pengurus Daerah TIDAR Bali saat jumpa pers, Minggu (23/6) di Denpasar.
 Salam 5 Cinta, tak lain adalah Cinta Diri, Cinta Sesama, Cinta Belajar, Cinta Kesantunan, dan Cinta Indonesia yang merupakan terjemahan lain dari nilai Pancasila yang dikemas dengan gaya anak muda yang tergabung di dalam organisasi sayap partai Gerindra ini.
Dengan rentetan kegiatan di dalam Tidar Cup ke V, organisasi kepemudaan partai berlambang kepala burung garuda ini tengah meneuhkan diri untuk meraih suara pemilih pemula dalam Pemilu 2014 mendatang. Walaupun, lanjut Fabian, Tidar tidak dibebani target dalam sebuah pemenangan politik 2014, tetapi hanya mengambil isu dan momentum politik untuk kemenangan kaum muda sendiri. “Kemenangan Tidar adalah kemenang kaum muda, bukan kemenangan politisi siapapun karena kami tidak dibebani target apapun dalam partai kami,” imbuh Fabian.
Seperti di sebutkan di awal, bahwa Tidar Cup ke V ini memang menjadi momentum pesta ala anak muda. Banyak sekali kegiatan yang dirancang oleh oranisasi Tidar sejak tanggal 15 Juni hingga 7 Juli yang diselenggarakan di Bali.
Menurut Ida Bagus Putu Oka Suryawan, Ketua Panitia Tidar Cup ke V,rangkaian kegiatan yang sedang dijalankan oleh organisasi Tidar tak lain bersifat sprotif dan kreatif, Karenanya kegiatan yang dilansir adalah berupa olahraga futsal, lomba fotografi, kompetisi mural atau graffiti, dan tarian bebas ala flash mod yang menjadi trend anak muda saat ini. “Untuk mengapresiasi nilai kebudayaan local, kami juga menyelenggarakan festival jukung atau perahu sampan tradisional serta baleganjur yang menjadi kebanggaan Bali,” ujar Putu Oka.
Sejatinya, rangkaian kegiatan bernuasna kreatifitas seni, budaya dan sportif ini berharap bisa menyapa dan mengajak kelompok muda yang saat ini enggan berpolitik. Boleh jadi, dengan kegiatan ini, Gerindra sedang mempersiapkan kader mudanya dan menajak partisipasi penuh kaum muda dalam pendidikan politik.

Senin, 22 Juli 2013

Berupacara Dengan Biaya Murah

Berupacara Dengan Biaya Murah

Upacara adalah salah satu dari tiga kerangka Agama Hindu. Dua lainnya adalah Tattwa dan Susila.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bagaikan sebutir telur, Tattwa diibaratkan sebagai sari telur yang berwarna kuning, Susila diibaratkan sebagai putih telur, dan Upacara diibaratkan sebagai kulit telur.
Tattwa adalah pengetahuan mengenai inti ajaran Agama Hindu (Weda), dan Susila adalah pelaksanaan tattwa dalam kehidupan manusia sehari-hari. Upacara terdiri dari dua kata, yaitu upa artinya berhubungan dengan, dan cara artinya gerakan. Jadi arti bebasnya adalah pelaksanaan suatu yadnya.
Yadnya artinya pengorbanan suci yang tulus ikhlas, secara luas dapat digolongkan dalam dua bentuk. Bentuk pertama, yaitu yadnya yang dilaksanakan karena adanya Tri Rnam dan bentuk kedua adalah yadnya yang dilaksanakan karena kewajiban sosial inter-aktif.
Tri Rnam adalah tiga jenis hutang manusia sebagai akibat kelahiran dan keberadaannya sebagai manusia yang berpengetahuan, yaitu hutang kepada Dewa (Hyang Widhi), Rsi, dan Pitara.
Ketiga Rnam itu masing-masing di-”bayar” dengan yadnya sebagai berikut: Dewa yadnya dan Bhuta yadnya untuk membayar Dewa Rnam, Rsi yadnya untuk membayar Rsi Rnam, selanjutnya Pitra yadnya dan Manusa yadnya untuk membayar Pitra Rnam.
Bentuk yadnya yang kedua adalah Drwya yadnya (ber-dana punia), Jnana yadnya (mengajar, berdharma wacana/ dharma tula) dan Tapa yadnya (pengendalian diri oleh setiap manusia).
Upacara banyak berkaitan dengan yadnya bentuk pertama yang umumnya disebut sebagai Panca Yadnya. Dalam Manawa Dharmasastra buku ke-tiga (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 80 ditulis:
RSAYAH PITARO DEWA BHUTANI, ATITHAYASTATHA, ACASATE KUTUMBIBHI, ASTEBHYAH KARYAM WIJANATA.
Artinya: Para Rsi, para Pitra (leluhur), para Dewa, para Bhuta dan para Tamu (manusia) meminta persembahan dan pemberian kepada kepala rumah tangga, oleh karena itu ia yang tahu hukumnya harus memberikan kepada mereka apa yang sesuai untuk masing-masingnya.
Pasal ini menegaskan bahwa Panca Yadnya merupakan kewajiban yang rutin bagi seorang kepala keluarga.
Dalam putaran kehidupan sehari-hari terasa adanya kebenaran tentang kewajiban yang rutin ini, dimulai sejak seorang perjaka menikah dengan upacara pawiwahan, kemudian setelah istrinya hamil melaksanakan upacara magedong-gedongan, ketika anaknya lahir berturut-turut dilaksanakan upacara mapag rare, kepus puser, tutug kambuhan, tiga bulanan, dan otonan.
Setelah anaknya dewasa ada upacara ngraja sewala dan metatah.
Di samping itu sebagai seorang kepala keluarga ia membimbing anak istrinya melaksanakan upacara yadnya yang lain misalnya: Dewa, Rsi, dan Bhuta yadnya. Kemudian kewajibannya sebagai suputra yakni menyelenggarakan pengabenan bagi orang tuanya, semuanya melengkapi tugasnya melaksanakan upacara Panca Yadnya.
Frekwensi berupacara cukup tinggi bagi setiap kepala keluarga, sehingga untuk penduduk di satu Desa seolah-olah tiada hari tanpa upacara. Belum lagi jika dihitung banyaknya warga Hindu yang mempunyai kewajiban yang sama di seluruh Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi Bali.
Mampukah penduduk beragama Hindu di Bali melaksanakan kewajibannya itu? Jika diteliti lebih jauh banyak warga kita yang tidak mampu melaksanakan upacara yadnya karena ketiadaan dana. Apa yang terjadi jika beberapa jenis upacara yadnya diabaikan?
Sebagaimana diuraikan di atas, upacara yadnya dilaksanakan karena adanya Tri Rnam. Jika Rnam (hutang) tidak dibayar kita yakin kehidupan manusia di alam skala dan niskala akan terganggu. Ambillah contoh jika anak tidak diupacarai tiga bulanan pada waktunya; ia akan cuntaka berkepanjangan.
Contoh lain, bayi yang lahir dari ibu yang belum dikawini secara sah melalui upacara pawiwahan disebut anak “dia-diu” yang cuntaka selamanya. Ada lagi orang tua yang meninggal dunia namun belum melaksanakan upacara mepandes bagi anak-anaknya, maka arwahnya tidak akan mendapat tempat di sunia loka.
Anak yang tidak menyelenggarakan upacara pitra yadnya bagi orang tua atau leluhurnya digolongkan sebagai anak yang tidak berbakti dan jauh dari ajaran agama Hindu.
Kebimbangan dan kekhawatiran pada sementara warga Hindu di Bali yang disebabkan karena di satu sisi sadar akan pentingnya menyelenggarakan upacara yadnya dan di sisi lainnya tidak mampu membiayai upacara, telah menimbulkan berbagai fenomena.
Ada yang bersikap apatis, dan ada yang bersusah payah mengumpulkan dana dengan berbagai jalan demi untuk berupacara. Kelompok yang terakhir ini mungkin saja mengabaikan segi-segi yang mendasar pada agama Hindu, misalnya mengusahakan dana dengan jalan KKN atau melalui judian (tajen).
Tidak sedikit ditemukan ada warga masyarakat yang membangun dan berupacara di suatu Pura dari hasil pungutan tajen selama bertahun-tahun.
Keluarga-keluarga yang hidupnya pas-pasan, jika berupacara dengan biaya mahal akan dapat meniadakan kesempatannya menabung untuk kesejahteraan di masa depan baik bagi dirinya maupun bagi anak cucunya.
Sering kita lihat warga yang melaksanakan upacara ngaben mendapat dana dari hasil menjual sawah ladangnya. Jika hal ini tidak diperhatikan mungkin saja di masa depan Agama Hindu di Bali akan berkurang popularitasnya karena dianggap Agama yang ritualnya sulit, dan mahal.
Kini sudah waktunya tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung dalam melaksanakan suatu upacara yadnya memperhatikan dan memikirkan jalan keluarnya, yaitu bagaimana agar warga Hindu kita di Bali tetap dapat melaksanakan upacara yadnya dengan baik.
Tokoh-tokoh itu disebut sebagai “Tri manggalaning yadnya”, yaitu: Sang adruwe karya, Sang widia atau yang pandai membuat banten, dan Sang Sadaka atau Sulinggih yang muput karya. Ketiga tokoh ini mempunyai peranan yang menentukan atas sukses tidak suksesnya suatu upacara, dan mahal atau murahnya biaya upacara yadnya.
Secara umum dapat dipedomani beberapa faktor sebagai berikut:
1. Oleh karena landasan ideal suatu yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus ikhlas maka yadnya hendaknya diselenggarakan menurut kemampuan riil yang ada, baik menyangkut Desa, Kala, maupun Patra.
Yang dimaksud dengan Desa adalah penggunaan bahan-bahan upakara yang ada atau dimiliki; Kala adalah waktu yang tersedia bagi penyelenggaraan upacara, dan Patra adalah kemampuan dana yang riil.
2. Berdasar pemahaman butir 1 itu maka volume upakara (banten) dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu: alit, madya, dan ageng.
Penggolongan ini semata-mata berdasarkan desa-kala-patra dan tidak berarti bahwa banten yang alit nilainya lebih rendah daripada yang madya atau ageng, demikian pula sebaliknya, banten yang ageng tidak berarti lebih tinggi nilainya dari yang alit atau madya.
3. Besar-kecilnya tingkat upacara tergantung pula dari banyak tidaknya warga yang mendukung, karena setiap upacara yadnya akan melibatkan warga dalam kelompok tertentu.
Dalam hubungan ini dapat digambarkan sebagai bentuk piramida yang terbalik dengan pengertian bahwa makin sedikit pendukungnya, makin kecil tingkat upacaranya. Makin banyak pendukungnya makin besar tingkat upacaranya.
Contoh yang bisa dikemukakan adalah upacara maha agung Eka Dasa Rudra di Besakih di mana pendukungnya adalah Pemerintah dan warga seluruh Bali bahkan Nusantara. Sementara pecaruan di rumah tangga cukup dengan bentuk yang kecil misalnya panca sata atau eka sata.
4. Yadnya diselenggarakan berdasarkan hasil musyawarah Tri Manggalaning Yadnya, setelah mempertimbangkan hal-hal di atas. Kesepakatan ini diwujudkan dengan upacara “Mejauman” di mana Hyang Widhi-lah sebagai saksinya. Artinya setelah upacara mejauman, Tri Manggalaning Yadnya terikat untuk memenuhi kewajiban atau swadharmanya.
Setelah memahami keempat faktor itu maka masing-masing Tri Manggalaning Yadnya seyogyanya mempunyai paradigma sebagai berikut:
1. Sang Adruwe Karya janganlah menonjolkan segi-segi “demonstration effect” misalnya memaksakan diri berupacara yang besar karena merasa dirinya berasal dari keluarga keturunan “Triwangsa” atau “Soroh” tertentu, atau mempunyai status sosial tinggi.
Selanjutnya ia hendaknya pandai memilih partner yang cocok baik dari Sang Widia maupun dari Sang Sadaka. Ia juga sebaiknya memahami tattwa-tattwa tentang upacara yang akan diselenggarakan, agar dapat berkomunikasi dengan baik kepada Sang Widia dan Sang Sadaka.
Seandainyapun ia mempunyai kekayaan yang besar alangkah baiknya kekayaan itu tidak digunakan untuk kepentingannya sendiri antara lain dengan membangun upacara agung; alangkah mulianya bila kekayaannya itu didana-puniakan kepada fakir miskin, orang tua jompo, anak-anak cacat, dll. sehingga ia dapat melaksanakan “Drwya yadnya”
2. Sang Widia diharapkan tidak “menjual” banten dengan harga tinggi di mana di dalamnya ada unsur-unsur mendapat keuntungan yang banyak. Tugas sebagai Sang Widia adalah sangat mulia karena melaksanakan kedharmaan; janganlah kemuliaan ini dicemari dengan sifat-sifat sad-ripu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Ia diharapkan memberikan pertimbangan tentang jenis-jenis banten yang perlu-perlu saja sesuai dengan tujuan upacara, jangan menambah-nambah volume banten. Ia juga berkewajiban mengajar cara membuat banten kepada sesama warga Hindu.
3. Sang Sadaka sebagai seorang Adhi Guru Loka hendaknya dapat memberikan petunjuk baik kepada Sang Widia maupun kepada Sang adruwe karya tentang cara-cara berupacara yang murah, namun tetap dalam jalur tattwa Agama. Jauhkanlah warga dari kebiasaan “Gugon Tuwon”, apalagi dengan memberi penjelasan “Anak mula keto”.
Sudah saatnya generasi muda diberikan penjelasan-penjelasan menurut sastra-sastra Agama yang pasti, sehingga tidak menimbulkan keraguan di kalangan warga. Hakekat tugas seorang Sadaka adalah menjalankan perintah Hyang Widhi, mengabdi kepada warga, memberikan kedamaian, keteduhan, dan kebahagian lahir batin.
Beberapa kiat berupacara yang murah dan baik sudah mulai nampak di beberapa daerah, misalnya dengan melaksanakan upacara kolektif baik untuk upacara pitra yadnya, mepandes, nyapuh legger, dll.
Cara berupacara seperti ini meringankan biaya karena biaya banten ditanggung bersama. Makin banyak pesertanya, makin rendah biayanya perorang. Lingkup kolektifitasnya bisa Dadia, Banjar, dan Desa.

Emansipasi Wanita Bali


Wanita di Bali bekerja sama kerasnya dengan para lelakinya.

Dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan  bahwa Wanita Bali adalah wanita pekerja. Yang bekerja keras demi sesuap nasi untuk bisa tetap hidup walau ditengah-tengah perekonomian yang serba tidak menentu ini. Seperti penjual dipasar tradisional Bali, ratusan wanita-wanita baik tua maupun muda mengadu nasibnya dengan berjualan sembako, canang dll. Tidak pernah menghiraukan penampilan dan tetap berjualan dibawah teriknya sinar matahari. Belum cukup sampai disitu, setelah usai berjualan, pekerjaan rumah pun sudah kembali menanti. Membuat banten (sesajen) untuk hari piodalan(hari suci) adalah salah satu contohnya. Bali terkenal sekali dengan adatnya yang kuat dimana hampir setiap hari terdapat hari-hari suci agama Hindu untuk menyembah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Jadi Wanita Bali adalah salah satu faktor yang mampu menjaga kekentalan adat Bali. Disini saya rasa hanya beberapa Wanita Indonesia yang bisa menandinginya.


Mengapa kebanyakan wanita di Bali bekerja?
Saya berpikir, bahwa tatanan masyarakat Bali yang memang mengusung system Patrilinear yang kuat merupakan salah satu pemicunya.  Sepintas lalu, tatanan ini jika dipandang  dari luar akan terlihat agak tidak adil terhadap kaum wanita. Lelaki menerima warisan keluarga. Lelaki pula yang menerima tanggungjawab keluarga.  Wanita mengikuti laki-laki. Saat seorang wanita Bali menikah, saat itu pula ia masuk ke keluarga suaminya dan memiliki hak & kewajibannya yang baru sebagai istri di keluarga suaminya. Ia tak perlu membawa harta keluarganya, karena toh ia akan mengelola harta warisan yang diterima suaminya . Jadi sebenarnya , tidak ada wanita di Bali yang merasa perlu mempermasalahkan soal harta warisan ini. Karena  merasa telah cukup adil. Namun, hal yang lebih penting bagi wanita adalah bagaimana menjaga martabat & nama baik keluarganya sendiri di mata keluarga suaminya.  Nah, disinilah rupanya letak permasalahan yang sesungguhnya.
Bagi sebuah keluarga yang anak perempuannya masuk ke dalam keluarga lain, dengan sendirinya anak perempuan itu akan menjadi cermin alias perwakilan dari keluarganya. Baik buruknya martabat si anak perempuan akan dijadikan barometer oleh keluarga pihak laki untuk menilai martabat keluarga pihak perempuan. Oleh sebab itu, maka keluarga perempuan akan berusaha membuat anak perempuannya menjadi representer yang baik, yang akan membawa nama baik keluarga.  Semua hal yang akan menjadi kunci parameter bagi penilaian seorang anak perempuanpun berusaha disiapkan dengan baik oleh keluarganya. Semua skill yang kelak dibutuhkan, tata karma, sopan santun dst hingga urusan menghasilkan pendapatan pun dipersiapkan dengan sebaik mungkin bagi anak perempuannya.
Saya masih ingat, bagaimana ayah dan ibu saya selalu dengan keras soal tata karma dan tata susila serta mengajarkan saya dan kakak perempuan saya tentang pentingnya mandiri sebagai perempuan. Belajar yang baik agar menjadi yang paling pintar di sekolah. Lalu bekerja dengan baik atau mencari ide sekreatif mungkin agar memiliki penghasilan sendiri dan tidak perlu meminta kepada suami di kemudian hari, apalagi menyusahkan suami dan keluarganya. Di mata ibu dan ayah saya, jika anak perempuannya menjadi istri yang menyusahkan suami dan keluarganya adalah haram hukumnya.
“Jangan sampai hanya untuk membeli pakaian dalammu sendiripun engkau tak mampu dan harus menadahkan tangan pada suamimu” katanya berulang ulang setiap kali saya duduk didepannya. Atau kali berikutnya ayah saya akan mengatakan “ Bapak tidak ingin mendengar mertuamu nanti berkata ‘ Sekad cening dini, ludes kesugihan bapane telahang  cening  (maksudnya Nak, sejak kamu di sini habis harta kekayaanku telah kamu pergunakan)’.  Pastikan engkau belajar dengan baik agar kelak nanti bisa mencari makan sendiri, jangan sampai menyusahkan suami atau mertua’’.
Saya dan kakak peremuan saya hanya terdiam saja setiap kali ayah saya bicara soal itu.  Dan kamipun tahu, nasihat itu akan diulang ulang terus  beratus- ratus kali hingga kami hapal dan bosan mendengarnya. Walhasil akibat dari itu semua, maka bagi saya dan kakak perempuan saya  bersekolah & bekerja yang baik  serta menghasilkan pendapatan sendiri adalah sebuah keharusan dalam hidup. Bukan sebuah pilihan. Saya rasa, itu pula yang dialami kebanyakan wanita lain di Bali, sehingga membuat lapangan pekerjaan apapun akhirnya diisi oleh para wanita tanpa ragu ragu dan malu, tanpa memikirkan lagi jenis pekerjaannya yang penting masih dalam koridor moral yang baik. Mulai dari pekerjaan yang sifatnya lebih feminine seperti perawat, menjahit, bekerja di salon dsb) hingga lapangan kerja yang normalnya di daerah lain di lakukan hanya oleh laki-laki (buruh bangunan, bekerja di sawah,  buruh jalanan dsb.  Jadi yang saya lihat di sini, akibat hukum Patrilinear ini, bukan saja telah mampu memicu emansipasi wanita dengan baik, bahkan dengan sangat sangat baik. Dimana para wanita di Bali bukan saja mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan dan pekerjaan yang setara dengan para lelaki, tetapi juga beremansipasi  dalam paket sepenuhnya.  Artinya, wanita tidak hanya beremansipasi dengan menuntut haknya yang baik baik saja, namun juga tidak menolak jika harus menerima pekerjaan  yang sama beratnya dengan pria.  Misalnya menjadi buruh jalananpun bersedia.

Mengapa ada yang berpendapat bahwa Wanita Bali bekerja lebih keras dari para Prianya?
Pertama kali mendengarkan pertanyaan ini, terus terang saya bingung. Aneh! Mengapa ada orang yang berpendapat seperti itu? Darimana datangnya? Belakangan barulah saya tahu, bahwa pertanyaan itu  datang dari banyak potret pria Bali di desa yang mengelus elus ayam kesayangannya dipinggir jalan. Sedangkan di saat lain ada potret wanita Bali terlihat sedang bekerja mengolah aspal di bawah terik matahari jalanan. Sehingga gambaran yang timbul bagi penonton luar adalah, para wanita bekerja keras sementara para lelaki mengelus-elus ayam aduannya. Saya tertawa mengetahui pemahaman sepihak yang tidak adil  bagi pria ini.
Masyarakat pedesaan di Bali,  penduduknya sebagian masih berprofesi di bidang aggraria. Para lelaki bangun pagi-pagi buta saat hari masih gelap untuk bekerja di sawah dan mengatur aliran air sesuai dengan kesepakatan Subak (oranisasi pengaturan air secara traditional di Bali) dan segera kembali ke rumah begitu matahari menanjak naik.  Karena tugas paginya telah selesai, tentu saja para lelaki sekarang boleh bersantai sejenak mengelus-elus ayam aduannya. Sementara saat itu barulah para wanitanya mulai beraktifitas. Rupanya suasana inilah yang tertangkap oleh banyak pengunjung dari luar Bali yang kebetulan melintas pada jam jam ini., termasuk para  penangkap gambar atu photographer,  sehingga tak pelak kesan bahwa pria Bali lebih santai dibanding wanitanya pun mudah terpupuk dari sini.
Padahal faktanya tidak demikian. Pria yang sedang bersantai mengelus ayam kesayangannya bukanlah berarti dia adalah seorang pria pemalas. Dia hanya pria yang sedang menikmati waktu luangnya sebelum berangkat bekerja keras lagi beberapa jamnya kemudian.  Pria Bali juga  bekerja sama kerasnya dengan para wanitanya, sama kerasnya dengan pria dari suku lain di Indonesia. Tidak ada perbedaan yang berarti.
Jadi, sebenarnya Emansipasi telah berjalan dengan alami di Bali.  Terus terang dengan kondisi  seperti ini, sejak kecil saya tidak pernah merasakan ketimpangan yang berarti  bagi wanita di Bali. Kesetaraan telah ada di situ. Persamaan hak dan kewajiban juga telah ada di situ. Apalagi?
Lebih lanjut ketika berbicara emansipasi, pada akhirnya emansipasi memang telah  diterima sebagai satu paket di Bali.  Wanita di Bali bukan  hanya mau menuntut  bagian ‘enak & mudah’nya saja dari sebuah emansipasi, namun harus juga menerima satu paket berikut dengan ketidakenakannya (misalnya bekerja sama keras/kasarnya dengan para lelaki). Itulah nilai satu paket emansipasi.
Jadi kalau pria menjadi dokter, wanita juga  mau menjadi dokter, pria menjadi polisi wanita juga menjadi polisi, pria menjadi pemimpin agama wanita juga menjadi pemimpin agama. Dan jika pria menjadi buruh jalanan, mengapa wanita harus tidak mau  menjadi buruh kasar juga? Bukankah wanita menuntut kesetaraan dengan laki-laki? Sekarang juga sudah banyak sekehe gong Wanita, yang dulunya hanya kaum pria yang menabuh gong. Saya pikir daripada melakukan pekerjaan yang mudah namun merendahkan martabat keluarga dengan melacurkan diri guna mencari uang, memilih menjadi buruh jalanan tetap jauh lebih terhormat.



Disatu sisi, ada juga Wanita Bali modern yang maju. Dengan penampilan anggun, cantik tanpa menghilangkan adat Bali tetap mampu bersaing dengan Wanita Indonesia pada umumnya. Benar atau tidaknya tulisan saya ini mohon beri masukan. Silahkan berkomentar bila ingin menambahkan, mengurangi, menyalahkan atau membenarkan hal ini. Untuk Wanita Bali, tetap lakukan yang terbaik untuk Bali dan Indonesia pada umumnya.



Wanita Dalam Pandangan Hindu



Wanita Dalam Pandangan Hindu
Wanita berasal dari Bahasa Sanskrit, yaitu Svanittha, di mana kata Sva artinya “sendiri” dan Nittha artinya “suci”. Jadi Svanittha artinya “mensucikan sendiri” kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas dalam Dharma atau “pengamal Dharma”.
Dari sini juga berkembang perkataan Sukla Svanittha yang artinya “bibit” atau janin yang dikandung oleh manusia, dalam hal ini, peranan perempuan. Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus “sarana” terwujudnya Punarbhava atau re-inkarnasi, sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu.
Sejak mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga merupakan ciri/ tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia menstruasi.
Wanita yang sedang menstruasi dijaga tetap berada di dalam kamar agar terlindung dari mara bahaya. Lihatlah kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa yang sedang menstruasi menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Dharmawangsa dari Pandawa melawan Sakuni di pihak Korawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh Dursasana di depan sidang.
Dewa Dharma melindungi Drupadi sehingga kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis, tetap melindungi tubuh walau bermeter-meter telah ditarik darinya.
Sejak awal Drupadi sudah mengingatkan Dursasana, bahwa ia sedang haid, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan Bima, dan Drupadi menebus kaul dengan mencuci rambutnya dengan darah Dursasana.
Wanita yang sedang menstruasi harus diperlakukan khusus karena di saat itu ia memerlukan ketenangan fisik dan mental.
Namun perkembangan tradisi beragama Hindu di Bali menjadi berbeda, seperti yang disebutkan dalam Lontar Catur Cuntaka, bahwa wanita yang sedang haid tergolong “cuntaka” atau “sebel” atau dalam bahasa sehari-hari disebut “kotor”, sehingga ia dilarang sembahyang atau masuk ke Pura. Ini perlu diluruskan sesuai dengan filosofi Hindu yang benar.
Wanita dewasa hendaknya dinikahkan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan Kitab Suci Manava Dharmasastra III. 21-30, yaitu menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi, dan Prajapati.
Brahmana wiwaha adalah pernikahan dengan seorang yang terpelajar dan berkedudukan baik; Daiva wiwaha adalah pernikahan dengan seorang keluarga Pendeta; Rsi wiwaha adalah pernikahan dengan mas kawin; dan Prajapati wiwaha adalah pernikahan yang direstui oleh kedua belah pihak.
Di masyarakat Hindu modern dewasa ini sering ditemui cara perkawinan campuran dari cara-cara yang pertama, ketiga, dan keempat. Singkatnya, perkawinan yang baik adalah dengan lelaki yang berpendidikan, berbudi luhur, berpenghasilan, dan disetujui oleh orang tua dari kedua pihak.
Selanjutnya dalam Kitab Suci itu juga diulas bahwa pernikahan adalah “Dharma Sampati” artinya “Tindakan Dharma” karena melalui pernikahan, ada kesempatan re-inkarnasi bagi roh-roh leluhur yang diperintahkan Hyang Widhi untuk menjelma kembali sebagai manusia.
Dalam tinjauan Dharma Sampati itu terkandung peranan masing-masing pihak yaitu suami dan istri yang menyatu dalam membina rumah tangga. Istri disebut sebagai pengamal “Dharma”dan Suami disebut sebagai pengamal “Shakti”.
Peranan istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan seperti: mengandung, melahirkan, memelihara bayi, dan seterusnya mengajar dan mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hindu di lingkungan rumah tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dll.
Peranan suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya.
Kombinasi antara Dharma dan Shakti ini menumbuh kembangkan dinamika kehidupan. Oleh karena itu pula istri disebut sebagai “Pradana” yang artinya pemelihara, dan suami disebut sebagai “Purusha”artinya penerus keturunan.
Bila perkawinan disebut sebagai Dharma, maka sesuai hukum alam (Rta): “rwa-bhineda” (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma. Dalam hal ini perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian, timbul kesengsaraan bagi pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak, dan mertua.
Maka dalam Agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa.
Istri harus dijaga dengan baik, disenangkan hatinya, digauli dengan halus sesuai dengan hari-hari yang baik sebagaimana disebut dalam Manava Dharmasastra III.45:
RTU KALABHIGAMISYAT, SWADHARANIRATAH SADA, PARVAVARJAM VRAJEKSAINAM, TAD VRATO RATI KAMYAYA
Hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik.
Selanjutnya MD III.55:
PITRBHIR BHATRBHIS, CAITAH PATIBHIR DEVARAISTATHA, PUJYA BHUSAYITA VYASCA, BAHU KALYANMIPSUBHIH
Istri harus dihormati dan disayangi oleh mertua, ipar, saudara, suami dan anak-anak bila mereka menghendaki kesejahteraan dirinya.
Ucapan “sorga ada ditangan wanita” bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam MD.III.56:
YATRA NARYASTU PUJYANTE, RAMANTE TATRA DEVATAH, YATRAITASTU NA PUJYANTE, SARVASTATRAPHALAH KRIYAH
Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.
Lebih tegas lagi dalam pasal berikutnya: 57:
SOCANTI JAMAYO YATRA, VINASYATYACU TATKULAM, NA SOCANTI TU YATRAITA, VARDHATE TADDHI SARVADA
Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.
Dan pasal 58:
JAMAYO YANI GEHANI, CAPANTYA PATRI PUJITAH, TANI KRTYAHATANEVA, VINASYANTI SAMANTARAH
Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.
Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki.
Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban, memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan, mebebantenan, menjama beraya, dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat dan agama.
Tanpa wanita seolah-olah kegiatan di dunia ini terhenti, sehingga seorang lelaki dewasa yang belum juga menikah dianggap suatu keanehan, kecuali memang niatnya melakukan berata “nyukla brahmacari” artinya tidak kawin seumur hidup seperti yang dilakukan oleh Maha Rsi Bisma dalam ephos Mahabharata, dengan tujuan tertentu, yaitu memberikan kesempatan kepada keturunan adik tirinya menduduki tahta kerajaan.
Wanita Hindu juga dibelenggu oleh sederetan norma-norma yang lebih ketat sehingga membedakan perilakunya di masyarakat dengan kaum lelaki. Pada beberapa hal ia tidak boleh melakukan hal yang sama seperti laki-laki. Baru zaman sekarang saja wanita “dibolehkan” memakai celana panjang, menyetir mobil, pergi ke mana-mana sendirian, berbicara bebas, dll.
Itu semua sebagai dampak pengaruh budaya dari “luar” Hindu. Di beberapa negara yang masih ketat melaksanakan norma-norma Hindu, wanita masih berlaku demikian, misalnya di India dan Nepal. Di sana malah ada yang masih menutupi wajahnya dengan cadar, dan sangat tabu memakai pakaian yang menampakkan aurat walau seminimal mungkin.
Wanita Hindu Nusantara di masa kini dan di masa depan tentulah tidak boleh ketinggalan dari kaum lelaki dalam menempuh karir dan pendidikan serta menyelenggarakan kehidupan sebagaimana mestinya.
Persoalannya adalah bagaimana menempatkan diri secara bijaksana, sehingga peranan semula sebagai “pengamal Dharma” dalam rumah tangga tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ayat-ayat Kitab Suci Veda seperti yang dikemukakan tadi.
Berbagai upaya mesti dirancang dengan baik oleh ibu-ibu rumah tangga sejak awal, mendidik anak-anak gadisnya, membesarkan dalam nuansa Hindu, dan akhirnya ketika gadis, sudah siap menjadi pengamal Dharma atau dengan kata lain, matang untuk menjadi istri atau pendamping suami yang baik.
Om A no bhadrah krattavo yantu visvatah.