Sabtu, 31 Agustus 2013

Kepercayaan Umat Hindu



Eka Srada
Menurut Hindu, Eka Srada, yaitu Widhi Tattwa berkembang menjadi Panca Srada, yaitu Widhi Tattwa, Atma Tattwa, Karma-phala, Punarbhawa, dan Moksa, didasari oleh srada (kepercayaan) yang bersumber dari Weda kemudian lebih luas dijelaskan dalam berbagai Upanisad sebagai berikut (secara singkat):
Hyang Widhi juga disebut Brahman yang terkena Maya kemudian menjadi Atma yang berbentuk manusia, binatang, tetumbuhan.
Khusus tinjauan kita tentang manusia, sesuai dengan hukum karma-phala segala pikiran, perkataan, dan perbuatannya menjadi ukuran nilai kesucian Atman yang menentukan apakah atman bisa bersatu kembali dengan Brahman atau tidak. Bila bisa bersatu itulah Moksa, dan bila tidak bisa bersatu terjadilah Punarbhawa.
Walaupun dasar pijakannya sama dengan agama lain, yaitu keyakinan akan adanya TuhanYang Maha Esa, namun karena “MUNGKIN” (sekali lagi saya tidak mendalami ajaran agama lain) konsep Brahman-Atman tidak ada pada mereka, maka tentu saja srada Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa mereka tidak punya.
Kepercayaan akan adanya Atman pada agama lain ada, mereka menyebutnya sebagai Roh, tetapi belum pernah saya baca dalam kitab suci mereka bahwa Roh itu sama dengan Tuhan, walaupun dalam agama tertentu Roh manusia disebut Roh, sedangkan Tuhan disebut sebagai Roh Kudus. Maka sering kita dengar doa kematian dari agama lain: “Semoga arwahnya diterima DI SISI TUHAN”
Beda dengan kita di Hindu selalu mendoakan “SEMOGA ATMANNYA AMORING ACINTYA” atau lengkapnya berbunyi:
OM, SWARGANTU, MOKSANTU, KSAMANTU, MURCANTU, SUNIANTU, OM

Selasa, 27 Agustus 2013

Gerindra Mampu Mensejahtrakan Masyarakat



Gerindra Mampu Mensejahtrakan Masyarakat Bila Di Berikan Amanah Oleh Rakyat Indonesia

Revolusi tani yang digagas Partai Gerindra merupakan keharusan jika dilihat dari kacamata ketahanan pangan nasional maupun penguat ekonomi pedesaan. Melalui gerakan merevitalisasi bidang pertanian diharapkan munculnya jutaan lapangan kerja baru yang berperan dalam peningkatan produktivitas serta kesejahteraan masyarakat.
Latar belakang gerakan tani oleh Gerindra berawal dari kesadaran untuk mengangkat harkat martabat petani Indonesia. Dalam hal ini H Prabowo Subianto selaku Ketua HKTI memandang penting sektor pertanian dalam menumbuhkan kedaulatan pangan nasional.
“Bangsa ini tidak boleh menyerahkan urusan pangan rakyatnya kepada bangsa luar. Bagaimana rakyat kita bisa sejahtera jika beras, jagung, palawija, gandum semuanya import dari luar. Padahal dengan potensi lahan dan iklim yang dimiliki, kita sangat mungkin berswasembada pangan,” tegasnya.
 “Kita usulkan UU Bank Tani agar petani dapat dengan mudah memperoleh modal, lalu ada UU resi gudang yang dimaksudkan agar petani kita bisa memperoleh jaminan penyimpanan hasil panen digudang yang ditunjuk pemerintah serta beberapa kebijakan lain yang pro petani,” tambahnya.
Selain itu, Gerindra juga tegas menolak kebijakan import bahan pangan, seperti di Jawa Timur. “Kita menolak masuknya import beras dari Vietnam disaat petani padi kita memasuki masa panen. Karena dengan masuknya beras import tersebut, harga beras yang dihasilkan petani kita jatuh harganya, ini baru sedikit dari usaha kita untuk menggerakkan sector pertanian sebagai tumpuan pembangunan nasional, dan ini semua agar petani Indonesia bisa sejahtera dan berdaulat,” tandasnya.
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berseloroh bahwa pemerintah saat ini belum mampu mengelola kekayaan alam untuk menyejahterakan rakyat. Hal itu disampaikan Prabowo saat berorasi dalam pertemuan silaturahim (simakrama) Keluarga Besar Hasyim Djojohadikusumo di Kuta, Bali, Minggu, 25 Agustus 2013 malam.
”Saya sudah sering berbicara, teriak di media bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Mestinya bisa dikelola yang benar. Gerindra sejak 2004 sudah punya strategi dan enam program aksi ekonomi,” tuturnnya.
Meski pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi kuat, namun yang terjadi sekira 52 persen rakyat tidak menikmati hasil pembangunan. Justru banyak sumber-sumber kekayaan dikuasai dan dinikmati orang lain atau pihak luar.
Salah satu cara untuk menumbuhkan pemerataan ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur. Bicara soal infrastruktur, yang paling penting adalah jalan.
Ia pun sesumbar, bila partainya memenangkan pemilu, salah satu programnya adalah membangun jalan sepanjang 3.000 kilometer di Tanah Air. Itu sangat mungkin dilakukan jika dibagi lima tahun. Setiap setahunnya dibangun 600 kilometer.
Untuk membangun jalan sepanjang 3.000 kilometer, dalam perhitungannya dibutuhkan dana Rp60 trilun. Hal itu sangat mungkin dilakukan.
Padahal setiap tahunnnya ada dana sampai Rp120 triliun yang menjadi bancakan atau digarong. Pemerintah, kata dia, mestinya mampu mengelola dana yang diparkir.
”Mestinya mampu. Kalau tidak, berarti kalah sebelum perang. Susahnya otak kita memang sudah dicuci (brainwashing) oleh penjajah Belanda sebagai bangsa yang kalah,” imbuhnya.

Minggu, 25 Agustus 2013

40% Rakyat Indonesia Hidupnya hampir Miskin



40% Rakyat Indonesia Hidupnya hampir Miskin
Dalam simakrama keluarga besar Bapak Hashim S. Djoyohadikusumo di Kartika Plaza Hotel hari Minggu 25 Agustus 2013, yang dihadiri oleh keluarga besar beliau serta tokoh-tokoh masyarakat Islam, Hindu, Budha, Kristiani, Perhimpunan Tionghoa dan para caleg Partai Gerindra seluruh Bali, pada kesempatan itu pula Ibu Ani Hashim memperkenalkan para penggerak yayasan kemanusiaan yang beliu bina sejak 1988 dari Indonesia Bagian Timur.
Sambutan Bapak hashim  dalam simakrama tersebut menyampaikan bahwa beliau bersama Bapak Haji Prabowo Subianto  mendirikan partai didorong oleh rasa prihatin melihat kondisi  Bangsa ini, karena data dari Bank Dunia melalui surveinya rakyat Indonesia 52% masih di garis kemiskinan sedangkan Pemerintah Kita mengakui hanya 12% saja Rakyat Indonesia yang dihidup miskin sedangkan yang 40% berada posisi hampir miskin, beliau juga berpesan agar Bapak H Prabowo yang akan menjelaskan kondisi bangsa ini kepada para hadirin, dari situasi kondidi itulah sekelumit yang melatar belakangi hingga terbentuknya Partai Gerakan Indonesia Raya pada tahun 2008..
Perjuangan perlu pengorbanan, kehadiran bapak Ibu, saudara sampai ketempat ini jauh-jauh dari daerah butuh suatu pengorbanan meninggalkan anak istri, suami ataupun keluarga tercinta dirumah hanya menghadiri Sima Krama demikian awal sambutan Pak Prabowo , beliau juga menyampaikan bahwa pada siang harinya sempat bertemu dengan kelompok petani anggur di kabupaten Gianyar dalam pertemuan tersebut diadakan dialog interaktif dengan para petani, Bapak H Prabowo mengetahui betul persoalan yang dihadapi petani dari Sabang sampai ke Merauke keluhan petani sama, biaya produksi mahal, modal produksi susah didapatkan kalaupun dapat dengan biaya bunga yang sangat mahal sampai dengan 10% dan akhirnya pada saat panen harga jatuh.
Partai Gerindra bertekad untuk melakukan perubahan yang lebih baik, solusi yang di tawarkan Partai Gerindra melalui “6 Program Aksi” , maka diingatkan kepada seluruh kader partai wajib memahami dari visi serta missi dari 6 program aksi tersebut untuk dapat disebar luaskan kepada masyarakat, beliau juga sangat menyayangkan karena keterbatasan media untuk menyampaikan pesan-pesan penting dari kontrak Politik Program Kerja Partai Gerindra kedepan.
Pada kesempatan tersebut Pak Prabowo menyampaikan bahwa kesejahtraan serta kemakmuran Rakyat sangat bisa tercapai apabila Pemerintah mau sungguh-sungguh mensejahtrakan rakyat sebagai contoh bahwa Bali memnghabiskan 22 juta botol wine setiap tahun, dan sekarang baru 1,2 juta botol yang terpenuhi dari produksi petani (dalam negeri) sedangkan sisanya dari impor, ini merupakan langkah nyata yang dilakukan oleh bapak/ibu angkat petani sehingga petani anggur bisa menikmati hidup yang lebih layak, untuk angka 40% rakyat yang hampir miskin beliau sampaikan jangan sampai jatuh sakit, karena apabila mereka sakit akan jatuh miskin, dan masih banyak angka-angka yang tidak mau jujur diakui pemerintah dalam mensejahtrakan rakyat.
Pesan bapak Prabowo kepada kader dan caleg Partai Gerindra agar jangan petantang petenteng dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat, serap dan dengarkan keluhan rakyat carikan solusi sehingga partai Gerindra menjadi partai yang baik, bukan menjadi Partai yang membohongi rakyat dengan janji-janji kosong setiap 5 tahunan, beliau juga mengajak orang-orang baik ikut berpartai karena pada prinsipnya Gerindra menginkan berbuat kebaikan untuk Bangsa ini, tujuan partai politik adalah baik untuk mengambil kebijakan yang baik mensejahtrakan masyarakat, kita mendirikan partai bukan untuk membohongi rakyat, mengambil keuntungan kelompok maupun individu, bukan  untuk kepentingan Partai, mari bergerak berbuat baik biarlah masyarakat yang akan menilai bahwa Partai Gerindra hadir untuk kepentingan bangsa sehingga Bangsa kita menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata dunia.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Makna Banten Bagi Umat Hindu di Bali dan Masalahnya Kini



Makna Banten Bagi Umat Hindu di Bali dan Masalahnya Kini
PadaMahasabha VIII PHDI yang digelar di Hotel Radison Denpasar bulan September tahun 2001 yang lalu, saya sempat berbincang dengan saudara kita umat Hindu asal Banten utusan Jawa Barat.
Dia mengatakan bukti kita bersaudara sangat kuat, karena upakara yang dikatakan di Bali sebagai “Banten”, di Banten disebut sebagai “Bali”. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) .
Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.
Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).
Tradisi beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha.
Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi “Banten” dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa Sulinggih yang saya hubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu.
Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan.
Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.
Bhakti marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut sebagai “Para bhakti”.
Pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya, seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang.
Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:
  1. Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.
  2. Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.
  3. Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.
  4. Sebagai alat pensucian.
  5. Sebagai pengganti mantra.
Karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan.
Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban Bebangkit).
Tujuannya adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi.


Di kala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga, antara lain tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan kesal atau sedih, tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas, menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.
Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih, tempat membuat banten disebut sebagai “Pesucian” yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan.
“Dewasa” atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka. Beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg Gumi.
Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat “reringgitan” dengan bahan daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.
Makna membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita dapat mewujudkan rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi.
Zaman beredar dan kini kita hidup di zaman millennium. Kemampuan kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman ini diuji dengan berbagai masalah, antar lain:
  1. Kelangkaan bahan-bahan baku banten.
  2. Waktu yang terbatas untuk membuat banten.
  3. Tidak semua umat Hindu di Bali bisa membuat banten sendiri.
Tentang kelangkaan bahan-bahan baku banten sudah kita maklumi, karena busung, pisang, kelapa, telur, bebek, dan ayam, tidak sedikit yang sudah didatangkan dari luar Bali antara lain: Sulawesi, Lombok, dan Jawa.
Waktu yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam menyiapkan sarana-sarana upakara menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten, istilahnya “nunas puput”. Generasi muda mulai bertanya-tanya, mengapa kok melaksanakan ajaran Agama Hindu di Bali dalam bentuk ritual/ upacara menjadi sangat sulit dan mahal.
“Model” umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini terlihat sudah lumrah seperti: sewa tenda, sewa korsi, pesan katering, dan nunas ayaban di Geria lengkap dengan Sulinggih yang muput. Serba praktis dan ekonomis walaupun segi-segi adat-dresta kegotong-royongan hilang, dan segi sakral membuat banten pada Sang Yajamana hilang.
Jika dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya seperti diuraikan di atas, agaknya hal yang paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten.
Apalah artinya banten jika Sang Yajamana tidak mengerti dengan makna banten yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada orang tua kita tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan pada orang tuamu? Jawabannya ya, nggak tau! Aneh bukan?
Fenomena seperti itu akan terus berkembang lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak.
Konsep-konsep Manawadharmasastra yang mengatur pembagian tugas pekerjaan rumah tangga antara suami/ istri banyak tidak berlaku lagi. Suami mestinya menghidupi keluarga, dan Istri mestinya mengurus rumah, terutama masalah Panca yadnya dan dengan sendirinya membuat banten.
Adakah jalan keluar menghadapi fenomena seperti itu? Untuk ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan:
1. Dalam banyak kitab suci antara lain: Manawadharmasastra, Parasaradharmasastra, dll. disebutkan bahwa cara kita beragama di setiap zaman tidaklah sama. Di zaman Kali seperti sekarang ini, cara kita beragama mestinya lebih menekankan pada pencurahan kasih sayang kepada sesama manusia misalnya dalam bentuk dana punia.
2. Namun demikian tidak berarti bahwa kegiatan ritual keagaman dalam bentuk upacara-upacara yadnya diabaikan. Upacara itu tetap dilaksanakan namun para Sulinggih diharap memberikan dharmawacana agar sang yajamana mengerti dengan makna upacara yadnya yang diselenggarakannya.
3. Sesuai dengan konsep Desa-Kala-Patra maka umat Hindu di Bali diharapkan menyelenggarkan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan finansial yang nyata dan waktu yang luang.
Oleh karena itu banten yang dikategorikan dalam kelompok: alit-madya-ageng hendaknya dijelaskan oleh para Sulinggih kepada umat secara luas, dengan menekankan bahwa banten yang alit tidak berarti nilainya lebih rendah dari banten yang madya-utama, demikian sebaliknya, karena hakekat banten adalah curahan rasa bhakti dan kasih kepada Hyang Widhi.
Janganlah sampai umat kita menghadapi kesulitan atau menjadi miskin karena melaksanakan upacara yadnya secara keliru, yaitu membeli banten melebihi batas kemampuan finansialnya yang nyata.
4. Apabila terpaksa membeli banten, belilah dari orang yang diyakini memenuhi syarat sebagai tukang banten.
5. Para tukang banten hendaknya turut memikirkan dan mengupayakan bagaimana caranya agar umat kita tidak terlalu mahal membeli banten, lebih-lebih jika diingat bahwa tukang banten adalah kelompok orang yang disucikan dan dengan demikian diharapkan sudah mampu menguasai “Sad-ripu” yang ada dalam dirinya sendiri.
Demikianlah sumbangan tulisan ini dan berharap semoga ada manfaatnya bagi para pembaca.