Asta
Dasa Berata Pramiteng Prabu Ajaran Kepemimpinan Gajah Mada
Arti
kata Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu : Asta Dasa artinya 18 (delapan
belas). Berata artinya pengendalian diri yang merupakan kewajiban pokok seorang
pemimpin. Pramiteng Prabu artinya Raja (Kepala Negara). Asta Dasa Berata
Pramiteng Prabu artinya 18 (delapan belas) kewajiban pokok pengendalian diri
seorang pemimpin.
Gajah Mada Keturunan Dewa Brahma
Patih Gajah Mada populer sebagai seorang tokoh nasional pada masa kejayaan Majapahit. Banyak karya sastra dan mitos yang berkaitan dengan tokoh yang mempersatukan Nusantara sampai ke Kepulauan Madagaskar, Malaysia, hingga Filipina selatan. Salah satu karya sastra tersebut adalah Kakawin (nyanyian sakral) Gajah Mada (disingkat KGM). Dalam KGM ditemukan berbagai taktik, strategi, dan ajaran kepemimpinan yang dilaksanakan Mahapatih Gajah Mada yang relevan untuk dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Tentunya ada pula hal-hal negatif yang tidak patut untuk diteladani. Pengarang kakawin adalah Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud.
Tokoh Gajah Mada begitu dikagumi, sehingga terbentuk berbagai mitos tentang dirinya. Dalam KGM tidak hanya mitos tentang Gajah Mada, yang ditampilkan sebagai berikut : Gajah Mada sebagai Keturunan Dewa Brahma. Dalam KGM, Gajah Mada dijadikan sarana citra, keluarga serta keturunannya sebagai anggota yang terhormat dari masyarakatnya. Penyair KGM menganggap Gajah Mada seorang yang digjaya Nindyeng sarat (jaya tidak tercela di seluruh dunia).
Sebagai tokoh, digambarkan kesempurnaan dirinya yang mampu memasukkan dewa-dewa kahyangan ke dalam tubuhnya, seperti ajaran kepemimpinan yang populer dengan nama Asta Berata yang dituangkan dalam kakawin Ramayana.
Sumber ajaran kepemimpinan Asta Berata ini adalah Kitab Manawa Dharma Sastera. Demikian juga Gajah Mada disebutkan mampu tampil sebagai Dewa asmara yang tampan, cemerlang dan jaya yaitu :
(1) Tokoh yang pada mulanya datar, namun dapat membuat kejutan dengan menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo Wawira (Kebo Iwa)
(2) Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus gagasan-gagasan yang dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit
(3) Kejayaan dalam pemikirannya didapat berkat keturunannya yang agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang diabdinya, terutama raja
(4) kejayaan batin didapat berkat sifat-sifat tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab agama sebagai persiapan menuju Moksa (rohani dan jasmani langsung ke Sorga Loka). Gajah Mada adalah sosok orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya juga bahwa kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) ke atas dunia.
Karena dalam agama Hindu, sifat-sifat kepemimpinan yang menonjol biasanya diambil dari sifat-sifat dewa Wisnu atau Narayana, yang tampak dalam setiap penjelmaan (awatara-awatara)-Nya.
Ajaran kepemimpinan dalam KGM dapat dijumpai pada bagian awal hingga akhir dari karya sastra kakawin ini. Seorang pemimpin hendaknya :
1) Rajin sembahyang, meditasi atau samadhi. Digambarkan bahwa sejak anak-anak, Gajah Mada suka sembahyang atau meditasi. Meditasi sering dilakukan malam hari dan sering mendapatkan vision (penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari dewa Brahma, ayah spiritualnya.
2) Menjadi pelopor dan memiliki wawasan ke depan. Gajah Mada selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif yang pertama serta bekerja keras diantara teman-teman sebayanya.
3) Mampu memberi semangat dalam kerja keras dan berat, terutama dalam memajukan sistem pertanian. Gajah Mada mampu memotivasi sesamanya. Kharismanya tampak sejak anak-anak, kemana Gajah Mada pergi diikuti oleh teman-teman sebayanya.
4) Ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, hatinya terbuka dan kata-katanya manis bagai air kehidupan. Dalam berbagai kesempatan Gajah Mada digambarkan dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan memimpin yang memberikan kesejukan kepada bawahannya.
5) Mampu menarik simpati, cerdas dan kreatif. Hal ini tampak ketika Gajah Mada pertama kali mengabdikan dirinya di istana maha patih yang sudah mulai tua yang bernama Arya Tadah, dan kemudian dia dikawinkan dengan putrinya yang bernama Dyah Bebed. Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin mengetahui wajah asli raja Bedahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang utuh sedepa panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumnya satu bumbung legen, ia bersedia makan dihadapan raja. Dengan cara demikian itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah raja Bali pada saat itu, dan raja tidak boleh membunuh utusan raja Majapahit ini, apalagi yang bersangkutan sedang menikmati makanan.
6) Sopan dan ramah. Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo Wawira (Kebo Iwa) dan Pasung Grigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus oleh raja Jawa yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di Wilatikta, dan memuji Kebo Wawira (Kebo Iwa) supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut. Karena penampilannya yang sopan dan ramah, akhirnya Kebo Wawira (Kebo Iwa) berhasil ditipu oleh Gajah Mada.
7) Senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, mempelajari kitab suci, dan melaksanakan upacara yadnya.
8) Senantiasa melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan.
9) Seorang pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggung jawab, dan tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum). Tidak menghina rakyat jelata, dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan).
10) Menghormati orang bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan tapabrata dan semadhi.
Penyusun KGM rupanya telah membaca semua referensi dalam naskah-naskah Bali. Hal ini tampak mengkirstal dalam 10 butir ajaran kepemimpinan dalam KGM. Walaupun ajaran tersebut sangat ideal namun Gajah Mada juga melakukan strategi atau taktik politik yang licik, yakni melakukan penipuan, baik terhadap raja Majapahit yang menghubungkan bahaya kelaparan di Majapahit akibat perbuatan raja Bali. Demikian pula ia telah menipu Kebo Wiwara dan Pasung Grigis. Dalam khasanah sastra Bali memang terdapat adigium musuh wenang linyokin (musuh dapat ditipu atau dibohongi), hal ini tentu mengurangi kredibilitas kepemimpinan yang dilakukan Gajah Mada.
Pembagian wilayah serta menempatkan penguasa dengan Sistem Majapahit di Bali. Sistem ini rupanya merupakan kelanjutan dari sistem yang diterapkan pada zaman Bali kuno yang dikenal sebagai ajaran Mpu Raja Krita yang menjabat sebagai Senapati Kuturan yang kemudian lebih populer dengan sebutan Mpu Kuturan. Warisan monumental beliau adalah dengan adanya sistem pemrajan, banjar, khayangan tiga, dan subak.
Sistem inilah yang ditengarai mampu membentengi Bali dari berbagai perubahan akibat perkembangan kehidupan, sampai era globalisasi dewasa ini.
Ajaran kepemimpinan dalam KGM rupanya tidak jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan dalam kitab suci Veda dan Susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah kesusastraan jawa kuno atau kawi dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model kepemimpinan Hindu di Bali.
Konsep atau ajaran kepemimpinan tidaklah hanya berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi setiap orang termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti kepemimpinan, kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat demikian pula bagaimana seharusnya seorang anggota.
Pemimpin Mesti Kendalikan Diri
Dari manakah pemimpin itu harus memulai untuk mencapai kesempurnaan? Adalah dari diri sendiri. Setiap orang jadi pemimpin dirinya sendiri. Jika sudah mampu memimpin diri sendiri, barulah ia menjadi pemimpin orang lain.
Seorang pemimpin masyarakat tidak lepas dari kepemimpinan handal yang ada pada dirinya sendiri. Tak bisa lepas dari pengendalian diri atau kontrol panca indrianya sendiri baik jasmani maupun rohani. Betapa pun pandainya, jika tanpa pengendalian diri, tanpa keseimbangan jiwa, maka dipastikan berdampak merosotnya kehidupan masyarakat yang dipimpin.
Kita bisa belajar menjadi pemimpin dari tokoh terdahulu yang diuraikan dalam kitab-kitab agama atau pun naskah-naskah kuno. Sebut saja Yudistira dalam Mahabharata, merupakan pemimpin yang menjalankan dharma, sesuai ajaran Agama Hindu yang dianutnya. Yudistira seorang raja yang baik, terbukti kehidupan rakyat Indra Prasta yang makmur. Benteng pertahanan Indra Prasta yang kuat dan ia memiliki para pendamping yang siap membantu jalannya pemerintahan, seperti Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa, dan para Resi Bhagawan sebagai penasehat.
Suatu ketika Yudistira pernah kehilangan kontrol diri, ia kehilangan pengendalian diri dan keseimbangan jiwa. Pada saat ia diundang untuk bermain dadu, melawan raja Gandara Sakuni, Yudistira menerimanya dengan cepat. Sudah beberapa kali ia kalah, dan harta yang dipertaruhkan sudah banyak pula. Itu sudah cukup menjadi petunjuk. Namun semakin menjadi-jadi, sampai-sampai ia mempertaruhkan kerajaannya. Hanya karena kontrol dan pengendalian diri, terburu nafsu menggebu dan hilangnya keseimbangan jiwa, maka Yudistira kehilangan Indra Prasta di meja judi, atas akal bulus raja Gandara Sakuni.
Hendaknya pemimpin tidak kehilangan kontrol diri dan keseimbangan. Dan perlu diingat tiga hal yang membuat pemimpin itu rusak ialah judi, berburu, bermain wanita, minuman keras, memfitnah, merampas harta benda, dan melukai badan (kekerasan ?). Untuk menjadi pemimpin yang baik hindarilah hal itu. Sesuai dengan apa yang dimuat dalam kitab Manawa Dharma Sastra, VI,7,52.
Saptakasyasya wargasya
Sarwatraiwanu sangginah
Purwam purwa gurutaram
Widyadwyasanamatmawan
Artinya :
Seorang pemimin hendaknya mengendalikan diri dari ketujuh jenis itu, sebagaimana kejahatan yang disebutkan di atas.
Menjadi pemimpin memang tidak mudah. Sekali lagi, perlu pengendalian diri. Pengendalian diri memegang kontrol segala kegiatan untuk mencapai kinerja yang baik dan berhasil. Pemimpin hendaknya menjadi panutan bagi yang dipimpin dalam hal pengendalian diri. Jika sudah saling mengendalikan diri, semua akan terkontrol, tidak ada kesimpang siuran, tumpang tindih, dan kekacauan. Itulah mengapa dalam sloka-sloka mengenai kepemimpinan sangat banyak memuat tentang pengendalian diri, seperti berikut :
Indryanam jaye yogam.
Samatis theddiwanisam.
Jitendriya hi caknoti
Wage sthapayitum prajah
Artinya :
Pemimpin hendaknya siang dan malam seharusnya mengendalikan diri sekuat tenaga, karena ia telah menundukan indrianya sendiri, dapat menguasai diri, pasti mengendalikan rakyatnya.
Begitu pentingnya pengendalian diri, maka seorang pemimpin pastilah muncul sebuah taksu atau karisma, yang mampu mempengaruhi masyarakat. Namun untuk mengendalikan diri inilah yang sulit apalagi mau membuat karisma diri dan mengendalikan rakyat. Untuk itulah seorang pemimpin berpedoman pada sifat kedewataan dan menerapkannya pada kepemimpinannya. Sifat-sifat kedewataannya itu tersurat dalam sloka :
Indra nilaya markanam
Agni ca waruna sya ca
Candra wite ca yo caiva
Matra nir hertya cacwatih
Artinya :
Untuk memenuhi maksud tujuan itu, pemimpin harus memiliki sifat kekal seperti Indra, Vayu, Yama, Surya, Agni, Varuna, Chandra dan Kuwera (Manawa Dharmasastra VII, 4)
Yang dimaksud :
• Indra adalah seorang raja harus mampu mengayomi dan memberikan kehidupan seperti hujan yang turun menyuburkan tanah.
• Vayu seorang pemimpin harus adil seperti hakim,
• Yama seorang pemimpin harus tegas,
• Surya seorang pemimpin harus mampu memberikan penerangan,
• Agni seorang pemimpin harus mampu mengobarkan semangat rakyat,
• Varuna atau laut seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan luas,
• Chandra seorang pemimpin harus bisa menyejukkan hati rakyatnya, dan yang terakhir
• Kuwera seorang pemimpin itu harus berdana, untuk kesejahteraan rakyat.
Raja Mabuk Rakyat Teler
Seorang raja Kerajaan Nandaka yang bernama Birhadratha, sedang mengalami kebingungan. Ia pergi ke hutan untuk melakukan pengendalian diri, yaitu berdiri mengangkat tangannya ke atas, sambil menatap matahari. Pada hari yang keseribu dari tapa bratanya, datanglah pendeta bernama Sakyanya. “Hentikan tapa brata anda dan katakan permintaan anda. Kesaktian apa yang anda inginkan?” Raja Birhadratha menyahut dan menyatakan kebingungannya atas ketidakabadian tubuhnya. Demikian pula dengan alam mengalami kepunahan. Seperti serangga kecil bersayap, nyamuk, rerumputan, pepohonan besar, itu muncul dan lenyap. Sang raja juga bingung melihat mahluk-mahluk besar memiliki superioritas yang lebih besar. Mereka dapat menghancurkan para Gandharwa, Asura, Yaksha, Rakhasa, Bhuta, mahluk halus, hantu, ular, dll.
Manusia identik dengan alam. Ketika manusia diberi kedudukan sebagai Raja, ketika salah mengendalikan dirinya maka seolah-olah alampun mempercepat kehancuran dirinya. Demikian juga ketika dia mampu mengendalikan dirinya, maka alampun dirasakan ikut mendukung karena alam dipercayai sebagai penyebab membawa kebaikan maupun keburukan.
Dalam Nitisastra disebutkan kalau raja saleh, rakyatpun saleh, raja jahat rakyatpun jahat. Rakyat akan mengikuti sang raja, sebagaimana raja begitulah rakyatnya.
Selanjutnya dijelaskan dalam Ramayana pada saat Rama menyerahkan Terompah, sebagai simbolis kekuasaan kepada Bharata, dengan wejangan sebagai berikut : “Hilangkah sifat-sifat angkara murka, penghinaan jangan dilakukan, lenyapkan orang mabuk, perbuatan baik merupakan sahabat mulia dan utama. Kemarahan dalam hati harus dihilangkan. Dosa yang bertubi-tubi menimbulkan keonaran dan kehancuran. Rakyat yang baik budi dan setia akan berbalik haluan. Kawan baik makin menjauh, musuhlah yang mendekat. Dosa besar orang yang doyan minum, mabuk, hilap hatinya, pelupa, gelisah, sombong, tekebur, angkuh dan jahat, dan berniat jahat. Lagi pula jangan bohong dan berbuat hina, akan menimbulkan keonaran yang sudah tentu akan menjadi buah bibir. Lagi pula bila ada rakyat yang kelihatan jahat, jangan tinggal diam terhadap hal itu, hendaknya lekas melakukan tindakan yang tegas.
Tuhan menciptakan raja, untuk melindungi ciptaanNya. Untuk mencapai tujuan itu maka sang Raja harus memiliki sifat-sifat yang kekal pada Dewa Indra, Bayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra dan Kuwera. Yang kesemuanya tersebut tertuang dalam ajaran Asta Brata.
Raja identik dengan pemimpin. Kalau dicermati kata dasar dari pemimpin adalah “pimpin” yang artinya “tuntun”. Maksudnya adalah seorang pemimpin memerlukan tuntunan, agar mampu berjalan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disepakati. Untuk dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin yang bijaksana maka harus mendasarkan diri kepada konsep Agama, Igama dan Ugama, dalam ajaran Agama Hindu.
Konsep berasal dari Panca Talaning Wisata Budaya, terdiri dari : Agama, Ugama, Igama, Sila Krama dan Sima Krama. Agama adalah agama Hindu yang ada di Bali yang kaya akan falsafah dan mythologi serta ajaran-ajarannya karena ia merupakan perpaduan yang serasi antara Hinduisme, Hindu Jawa dan unsur kebudayaan Bali asli. Ugama adalah pelaksanan dari ajaran agama di bidang upacara dan upakara. Kemudian menimbulkan adanya seni tari, seni sastra, seni krawitan, seni ukir dan seni budaya yang lainnya. Igama adalah ajaran ketata susilaan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat di Bali. Sila Krama adalah Pelaksanaan ajaran-ajaran di atas di dalam masyarakat Bali yang disesuaikan dengan kala, patra dan desa. Sima Krama adalah Pekraman/ silahturahmi anggota masyarakat desa adat yang sudah dilaksanakan sejak waktu yang lalu, maka ia merupakan adat yang mempunyai kesamaan dan perbedaan di masing-masing desa adat.
Patih Gajah Mada dalam mengendalikan Bali setelah ditaklukkan, menggunakan konsep Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu. Yang dimaksud dengan Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu dari Gajah Mada adalah 18 (delapan belas) kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin yaitu :
1. Wijaya; bersikap tenang dan bijaksana.
2. Matri Wira; berani membela yang benar.
3. Natanggwan; mendapat kepercayaan rakyat,
4. Satya bhakti a prabhu; taat kepada pemimpin/pemerintah.
5. Wagmi wak; pandai bericara dan meyakinkan pendengar.
6. Wicak saneng naya; cerdik menggunakan pikiran.
7. Sarja wopasana; selalu bersikap rendah hati.
8. Dirotsaha; rajin dan tekun bekerja.
9. Tan satresna; jangan terikat/mengikatkan diri pada satu golongan atau persoalan.
10. Masihi semesta Buwana; bersikap kasih sayang kepada semuanya.
11. Sih Semesta buwana; dikasihi oleh semuanya;
12. Negara Ginang Pratidnya; selalu mengabdi dan mendahulukan kepentingan negara.
13. Dibya cita; toleran terhadap pendirian orang lain.
14. Sumantri; tegas dan jujur.
15. Anayaken musuh; selalu dapat memperdaya musuh.
16. Waspada Pubha wisesa; waspada selalu/introspeksi.
17. Ambeg Paramartha; pandai mendahulukan hal-hal yang lebih penting.
18. Prasaja; hiduplah sederhana.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ; kalau rajanya bingung dengan pergi ke hutan melakukan tapa berata, maka seorang raja akan lebih banyak dipengaruhi oleh sifat sattwamnya. Sehingga segala peraturan yang ada dalam kitab suci akan dilaksanakan dengan baik. Apabila rajanya bingung, kemudian melakukan pengendalian diri melalui kegiatan berburu di hutan berarti dipengaruhi oleh sifat Rajas, sehingga rakyat juga ikut merusak alam seperti membabat hutan. Kalau rajanya bingung, kemudian melakukan pengendalian diri melalui mengkonsumsi minuman keras dan mabuk-mabukan berarti dipengaruhi sifat Tamas, sehingga rakyat juga terkena dampaknya. Kalau rajanya mabuk, rakyatnya juga teler. Rajanya gila, rakyatnya cenderung gila-gilaan. Rakyatnya sebagai pedagang kecil di warung ditangkap menjual miras rajanya harus juga ditangkap.
Kalau negara ini ingin baik, tidaklah sulit bagi seorang pemimpin. Cukup melaksanakan Agama, Ugama dan Igama, sesuai ajaran Agama Hindu.
Gajah Mada Keturunan Dewa Brahma
Patih Gajah Mada populer sebagai seorang tokoh nasional pada masa kejayaan Majapahit. Banyak karya sastra dan mitos yang berkaitan dengan tokoh yang mempersatukan Nusantara sampai ke Kepulauan Madagaskar, Malaysia, hingga Filipina selatan. Salah satu karya sastra tersebut adalah Kakawin (nyanyian sakral) Gajah Mada (disingkat KGM). Dalam KGM ditemukan berbagai taktik, strategi, dan ajaran kepemimpinan yang dilaksanakan Mahapatih Gajah Mada yang relevan untuk dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Tentunya ada pula hal-hal negatif yang tidak patut untuk diteladani. Pengarang kakawin adalah Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud.
Tokoh Gajah Mada begitu dikagumi, sehingga terbentuk berbagai mitos tentang dirinya. Dalam KGM tidak hanya mitos tentang Gajah Mada, yang ditampilkan sebagai berikut : Gajah Mada sebagai Keturunan Dewa Brahma. Dalam KGM, Gajah Mada dijadikan sarana citra, keluarga serta keturunannya sebagai anggota yang terhormat dari masyarakatnya. Penyair KGM menganggap Gajah Mada seorang yang digjaya Nindyeng sarat (jaya tidak tercela di seluruh dunia).
Sebagai tokoh, digambarkan kesempurnaan dirinya yang mampu memasukkan dewa-dewa kahyangan ke dalam tubuhnya, seperti ajaran kepemimpinan yang populer dengan nama Asta Berata yang dituangkan dalam kakawin Ramayana.
Sumber ajaran kepemimpinan Asta Berata ini adalah Kitab Manawa Dharma Sastera. Demikian juga Gajah Mada disebutkan mampu tampil sebagai Dewa asmara yang tampan, cemerlang dan jaya yaitu :
(1) Tokoh yang pada mulanya datar, namun dapat membuat kejutan dengan menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo Wawira (Kebo Iwa)
(2) Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus gagasan-gagasan yang dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit
(3) Kejayaan dalam pemikirannya didapat berkat keturunannya yang agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang diabdinya, terutama raja
(4) kejayaan batin didapat berkat sifat-sifat tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab agama sebagai persiapan menuju Moksa (rohani dan jasmani langsung ke Sorga Loka). Gajah Mada adalah sosok orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya juga bahwa kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) ke atas dunia.
Karena dalam agama Hindu, sifat-sifat kepemimpinan yang menonjol biasanya diambil dari sifat-sifat dewa Wisnu atau Narayana, yang tampak dalam setiap penjelmaan (awatara-awatara)-Nya.
Ajaran kepemimpinan dalam KGM dapat dijumpai pada bagian awal hingga akhir dari karya sastra kakawin ini. Seorang pemimpin hendaknya :
1) Rajin sembahyang, meditasi atau samadhi. Digambarkan bahwa sejak anak-anak, Gajah Mada suka sembahyang atau meditasi. Meditasi sering dilakukan malam hari dan sering mendapatkan vision (penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari dewa Brahma, ayah spiritualnya.
2) Menjadi pelopor dan memiliki wawasan ke depan. Gajah Mada selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif yang pertama serta bekerja keras diantara teman-teman sebayanya.
3) Mampu memberi semangat dalam kerja keras dan berat, terutama dalam memajukan sistem pertanian. Gajah Mada mampu memotivasi sesamanya. Kharismanya tampak sejak anak-anak, kemana Gajah Mada pergi diikuti oleh teman-teman sebayanya.
4) Ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, hatinya terbuka dan kata-katanya manis bagai air kehidupan. Dalam berbagai kesempatan Gajah Mada digambarkan dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan memimpin yang memberikan kesejukan kepada bawahannya.
5) Mampu menarik simpati, cerdas dan kreatif. Hal ini tampak ketika Gajah Mada pertama kali mengabdikan dirinya di istana maha patih yang sudah mulai tua yang bernama Arya Tadah, dan kemudian dia dikawinkan dengan putrinya yang bernama Dyah Bebed. Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin mengetahui wajah asli raja Bedahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang utuh sedepa panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumnya satu bumbung legen, ia bersedia makan dihadapan raja. Dengan cara demikian itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah raja Bali pada saat itu, dan raja tidak boleh membunuh utusan raja Majapahit ini, apalagi yang bersangkutan sedang menikmati makanan.
6) Sopan dan ramah. Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo Wawira (Kebo Iwa) dan Pasung Grigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus oleh raja Jawa yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di Wilatikta, dan memuji Kebo Wawira (Kebo Iwa) supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut. Karena penampilannya yang sopan dan ramah, akhirnya Kebo Wawira (Kebo Iwa) berhasil ditipu oleh Gajah Mada.
7) Senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, mempelajari kitab suci, dan melaksanakan upacara yadnya.
8) Senantiasa melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan.
9) Seorang pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggung jawab, dan tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum). Tidak menghina rakyat jelata, dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan).
10) Menghormati orang bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan tapabrata dan semadhi.
Penyusun KGM rupanya telah membaca semua referensi dalam naskah-naskah Bali. Hal ini tampak mengkirstal dalam 10 butir ajaran kepemimpinan dalam KGM. Walaupun ajaran tersebut sangat ideal namun Gajah Mada juga melakukan strategi atau taktik politik yang licik, yakni melakukan penipuan, baik terhadap raja Majapahit yang menghubungkan bahaya kelaparan di Majapahit akibat perbuatan raja Bali. Demikian pula ia telah menipu Kebo Wiwara dan Pasung Grigis. Dalam khasanah sastra Bali memang terdapat adigium musuh wenang linyokin (musuh dapat ditipu atau dibohongi), hal ini tentu mengurangi kredibilitas kepemimpinan yang dilakukan Gajah Mada.
Pembagian wilayah serta menempatkan penguasa dengan Sistem Majapahit di Bali. Sistem ini rupanya merupakan kelanjutan dari sistem yang diterapkan pada zaman Bali kuno yang dikenal sebagai ajaran Mpu Raja Krita yang menjabat sebagai Senapati Kuturan yang kemudian lebih populer dengan sebutan Mpu Kuturan. Warisan monumental beliau adalah dengan adanya sistem pemrajan, banjar, khayangan tiga, dan subak.
Sistem inilah yang ditengarai mampu membentengi Bali dari berbagai perubahan akibat perkembangan kehidupan, sampai era globalisasi dewasa ini.
Ajaran kepemimpinan dalam KGM rupanya tidak jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan dalam kitab suci Veda dan Susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah kesusastraan jawa kuno atau kawi dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model kepemimpinan Hindu di Bali.
Konsep atau ajaran kepemimpinan tidaklah hanya berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi setiap orang termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti kepemimpinan, kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat demikian pula bagaimana seharusnya seorang anggota.
Pemimpin Mesti Kendalikan Diri
Dari manakah pemimpin itu harus memulai untuk mencapai kesempurnaan? Adalah dari diri sendiri. Setiap orang jadi pemimpin dirinya sendiri. Jika sudah mampu memimpin diri sendiri, barulah ia menjadi pemimpin orang lain.
Seorang pemimpin masyarakat tidak lepas dari kepemimpinan handal yang ada pada dirinya sendiri. Tak bisa lepas dari pengendalian diri atau kontrol panca indrianya sendiri baik jasmani maupun rohani. Betapa pun pandainya, jika tanpa pengendalian diri, tanpa keseimbangan jiwa, maka dipastikan berdampak merosotnya kehidupan masyarakat yang dipimpin.
Kita bisa belajar menjadi pemimpin dari tokoh terdahulu yang diuraikan dalam kitab-kitab agama atau pun naskah-naskah kuno. Sebut saja Yudistira dalam Mahabharata, merupakan pemimpin yang menjalankan dharma, sesuai ajaran Agama Hindu yang dianutnya. Yudistira seorang raja yang baik, terbukti kehidupan rakyat Indra Prasta yang makmur. Benteng pertahanan Indra Prasta yang kuat dan ia memiliki para pendamping yang siap membantu jalannya pemerintahan, seperti Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa, dan para Resi Bhagawan sebagai penasehat.
Suatu ketika Yudistira pernah kehilangan kontrol diri, ia kehilangan pengendalian diri dan keseimbangan jiwa. Pada saat ia diundang untuk bermain dadu, melawan raja Gandara Sakuni, Yudistira menerimanya dengan cepat. Sudah beberapa kali ia kalah, dan harta yang dipertaruhkan sudah banyak pula. Itu sudah cukup menjadi petunjuk. Namun semakin menjadi-jadi, sampai-sampai ia mempertaruhkan kerajaannya. Hanya karena kontrol dan pengendalian diri, terburu nafsu menggebu dan hilangnya keseimbangan jiwa, maka Yudistira kehilangan Indra Prasta di meja judi, atas akal bulus raja Gandara Sakuni.
Hendaknya pemimpin tidak kehilangan kontrol diri dan keseimbangan. Dan perlu diingat tiga hal yang membuat pemimpin itu rusak ialah judi, berburu, bermain wanita, minuman keras, memfitnah, merampas harta benda, dan melukai badan (kekerasan ?). Untuk menjadi pemimpin yang baik hindarilah hal itu. Sesuai dengan apa yang dimuat dalam kitab Manawa Dharma Sastra, VI,7,52.
Saptakasyasya wargasya
Sarwatraiwanu sangginah
Purwam purwa gurutaram
Widyadwyasanamatmawan
Artinya :
Seorang pemimin hendaknya mengendalikan diri dari ketujuh jenis itu, sebagaimana kejahatan yang disebutkan di atas.
Menjadi pemimpin memang tidak mudah. Sekali lagi, perlu pengendalian diri. Pengendalian diri memegang kontrol segala kegiatan untuk mencapai kinerja yang baik dan berhasil. Pemimpin hendaknya menjadi panutan bagi yang dipimpin dalam hal pengendalian diri. Jika sudah saling mengendalikan diri, semua akan terkontrol, tidak ada kesimpang siuran, tumpang tindih, dan kekacauan. Itulah mengapa dalam sloka-sloka mengenai kepemimpinan sangat banyak memuat tentang pengendalian diri, seperti berikut :
Indryanam jaye yogam.
Samatis theddiwanisam.
Jitendriya hi caknoti
Wage sthapayitum prajah
Artinya :
Pemimpin hendaknya siang dan malam seharusnya mengendalikan diri sekuat tenaga, karena ia telah menundukan indrianya sendiri, dapat menguasai diri, pasti mengendalikan rakyatnya.
Begitu pentingnya pengendalian diri, maka seorang pemimpin pastilah muncul sebuah taksu atau karisma, yang mampu mempengaruhi masyarakat. Namun untuk mengendalikan diri inilah yang sulit apalagi mau membuat karisma diri dan mengendalikan rakyat. Untuk itulah seorang pemimpin berpedoman pada sifat kedewataan dan menerapkannya pada kepemimpinannya. Sifat-sifat kedewataannya itu tersurat dalam sloka :
Indra nilaya markanam
Agni ca waruna sya ca
Candra wite ca yo caiva
Matra nir hertya cacwatih
Artinya :
Untuk memenuhi maksud tujuan itu, pemimpin harus memiliki sifat kekal seperti Indra, Vayu, Yama, Surya, Agni, Varuna, Chandra dan Kuwera (Manawa Dharmasastra VII, 4)
Yang dimaksud :
• Indra adalah seorang raja harus mampu mengayomi dan memberikan kehidupan seperti hujan yang turun menyuburkan tanah.
• Vayu seorang pemimpin harus adil seperti hakim,
• Yama seorang pemimpin harus tegas,
• Surya seorang pemimpin harus mampu memberikan penerangan,
• Agni seorang pemimpin harus mampu mengobarkan semangat rakyat,
• Varuna atau laut seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan luas,
• Chandra seorang pemimpin harus bisa menyejukkan hati rakyatnya, dan yang terakhir
• Kuwera seorang pemimpin itu harus berdana, untuk kesejahteraan rakyat.
Raja Mabuk Rakyat Teler
Seorang raja Kerajaan Nandaka yang bernama Birhadratha, sedang mengalami kebingungan. Ia pergi ke hutan untuk melakukan pengendalian diri, yaitu berdiri mengangkat tangannya ke atas, sambil menatap matahari. Pada hari yang keseribu dari tapa bratanya, datanglah pendeta bernama Sakyanya. “Hentikan tapa brata anda dan katakan permintaan anda. Kesaktian apa yang anda inginkan?” Raja Birhadratha menyahut dan menyatakan kebingungannya atas ketidakabadian tubuhnya. Demikian pula dengan alam mengalami kepunahan. Seperti serangga kecil bersayap, nyamuk, rerumputan, pepohonan besar, itu muncul dan lenyap. Sang raja juga bingung melihat mahluk-mahluk besar memiliki superioritas yang lebih besar. Mereka dapat menghancurkan para Gandharwa, Asura, Yaksha, Rakhasa, Bhuta, mahluk halus, hantu, ular, dll.
Manusia identik dengan alam. Ketika manusia diberi kedudukan sebagai Raja, ketika salah mengendalikan dirinya maka seolah-olah alampun mempercepat kehancuran dirinya. Demikian juga ketika dia mampu mengendalikan dirinya, maka alampun dirasakan ikut mendukung karena alam dipercayai sebagai penyebab membawa kebaikan maupun keburukan.
Dalam Nitisastra disebutkan kalau raja saleh, rakyatpun saleh, raja jahat rakyatpun jahat. Rakyat akan mengikuti sang raja, sebagaimana raja begitulah rakyatnya.
Selanjutnya dijelaskan dalam Ramayana pada saat Rama menyerahkan Terompah, sebagai simbolis kekuasaan kepada Bharata, dengan wejangan sebagai berikut : “Hilangkah sifat-sifat angkara murka, penghinaan jangan dilakukan, lenyapkan orang mabuk, perbuatan baik merupakan sahabat mulia dan utama. Kemarahan dalam hati harus dihilangkan. Dosa yang bertubi-tubi menimbulkan keonaran dan kehancuran. Rakyat yang baik budi dan setia akan berbalik haluan. Kawan baik makin menjauh, musuhlah yang mendekat. Dosa besar orang yang doyan minum, mabuk, hilap hatinya, pelupa, gelisah, sombong, tekebur, angkuh dan jahat, dan berniat jahat. Lagi pula jangan bohong dan berbuat hina, akan menimbulkan keonaran yang sudah tentu akan menjadi buah bibir. Lagi pula bila ada rakyat yang kelihatan jahat, jangan tinggal diam terhadap hal itu, hendaknya lekas melakukan tindakan yang tegas.
Tuhan menciptakan raja, untuk melindungi ciptaanNya. Untuk mencapai tujuan itu maka sang Raja harus memiliki sifat-sifat yang kekal pada Dewa Indra, Bayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra dan Kuwera. Yang kesemuanya tersebut tertuang dalam ajaran Asta Brata.
Raja identik dengan pemimpin. Kalau dicermati kata dasar dari pemimpin adalah “pimpin” yang artinya “tuntun”. Maksudnya adalah seorang pemimpin memerlukan tuntunan, agar mampu berjalan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disepakati. Untuk dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin yang bijaksana maka harus mendasarkan diri kepada konsep Agama, Igama dan Ugama, dalam ajaran Agama Hindu.
Konsep berasal dari Panca Talaning Wisata Budaya, terdiri dari : Agama, Ugama, Igama, Sila Krama dan Sima Krama. Agama adalah agama Hindu yang ada di Bali yang kaya akan falsafah dan mythologi serta ajaran-ajarannya karena ia merupakan perpaduan yang serasi antara Hinduisme, Hindu Jawa dan unsur kebudayaan Bali asli. Ugama adalah pelaksanan dari ajaran agama di bidang upacara dan upakara. Kemudian menimbulkan adanya seni tari, seni sastra, seni krawitan, seni ukir dan seni budaya yang lainnya. Igama adalah ajaran ketata susilaan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat di Bali. Sila Krama adalah Pelaksanaan ajaran-ajaran di atas di dalam masyarakat Bali yang disesuaikan dengan kala, patra dan desa. Sima Krama adalah Pekraman/ silahturahmi anggota masyarakat desa adat yang sudah dilaksanakan sejak waktu yang lalu, maka ia merupakan adat yang mempunyai kesamaan dan perbedaan di masing-masing desa adat.
Patih Gajah Mada dalam mengendalikan Bali setelah ditaklukkan, menggunakan konsep Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu. Yang dimaksud dengan Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu dari Gajah Mada adalah 18 (delapan belas) kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin yaitu :
1. Wijaya; bersikap tenang dan bijaksana.
2. Matri Wira; berani membela yang benar.
3. Natanggwan; mendapat kepercayaan rakyat,
4. Satya bhakti a prabhu; taat kepada pemimpin/pemerintah.
5. Wagmi wak; pandai bericara dan meyakinkan pendengar.
6. Wicak saneng naya; cerdik menggunakan pikiran.
7. Sarja wopasana; selalu bersikap rendah hati.
8. Dirotsaha; rajin dan tekun bekerja.
9. Tan satresna; jangan terikat/mengikatkan diri pada satu golongan atau persoalan.
10. Masihi semesta Buwana; bersikap kasih sayang kepada semuanya.
11. Sih Semesta buwana; dikasihi oleh semuanya;
12. Negara Ginang Pratidnya; selalu mengabdi dan mendahulukan kepentingan negara.
13. Dibya cita; toleran terhadap pendirian orang lain.
14. Sumantri; tegas dan jujur.
15. Anayaken musuh; selalu dapat memperdaya musuh.
16. Waspada Pubha wisesa; waspada selalu/introspeksi.
17. Ambeg Paramartha; pandai mendahulukan hal-hal yang lebih penting.
18. Prasaja; hiduplah sederhana.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ; kalau rajanya bingung dengan pergi ke hutan melakukan tapa berata, maka seorang raja akan lebih banyak dipengaruhi oleh sifat sattwamnya. Sehingga segala peraturan yang ada dalam kitab suci akan dilaksanakan dengan baik. Apabila rajanya bingung, kemudian melakukan pengendalian diri melalui kegiatan berburu di hutan berarti dipengaruhi oleh sifat Rajas, sehingga rakyat juga ikut merusak alam seperti membabat hutan. Kalau rajanya bingung, kemudian melakukan pengendalian diri melalui mengkonsumsi minuman keras dan mabuk-mabukan berarti dipengaruhi sifat Tamas, sehingga rakyat juga terkena dampaknya. Kalau rajanya mabuk, rakyatnya juga teler. Rajanya gila, rakyatnya cenderung gila-gilaan. Rakyatnya sebagai pedagang kecil di warung ditangkap menjual miras rajanya harus juga ditangkap.
Kalau negara ini ingin baik, tidaklah sulit bagi seorang pemimpin. Cukup melaksanakan Agama, Ugama dan Igama, sesuai ajaran Agama Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar