Makna Banten Bagi Umat Hindu di Bali dan Masalahnya
Kini
PadaMahasabha VIII PHDI yang digelar di Hotel Radison Denpasar bulan September
tahun 2001 yang lalu, saya sempat berbincang dengan saudara kita umat Hindu
asal Banten utusan Jawa Barat.
Dia
mengatakan bukti kita bersaudara sangat kuat, karena upakara yang dikatakan di
Bali sebagai “Banten”, di Banten disebut sebagai “Bali”. Dalam Bhuwana Tattwa
Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka
daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar,
sekarang) .
Kemudian
mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara,
mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke
penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Jenis
upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut
“Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana
upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali
mula-mula adalah penduduk Taro.
Lama
kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga
pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh
orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan
pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).
Tradisi
beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain
seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu
Nirartha.
Sejak
kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi “Banten” dan mengapa
demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa Sulinggih yang saya hubungi
ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari
kata wantu atau bantu.
Jadi
banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali
atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan.
Umat
Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara
(marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.
Bhakti
marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut
sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan
nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut
sebagai “Para bhakti”.
Pada
tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat
bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya, seterusnya pada
tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang.
Umumnya
di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama
dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga,
buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:
- Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.
- Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.
- Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.
- Sebagai alat pensucian.
- Sebagai pengganti mantra.
Karena
demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan bahwa
mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten
itu akan dihaturkan/ dipersembahkan.
Dalam
Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman
Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten hendaknya
sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban
Bebangkit).
Tujuannya
adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam
membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan
banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi.
Di
kala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga, antara lain
tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan kesal atau sedih, tidak
sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas, menggaruk-garuk
anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.
Disimpulkan
bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral,
konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah
ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih, tempat membuat banten
disebut sebagai “Pesucian” yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau
orang yang tidak berkepentingan.
“Dewasa”
atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para
Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten
tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang
sedang cuntaka. Beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang
Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg Gumi.
Untuk
menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang tokoh
pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat “reringgitan” dengan bahan
daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga
konsentrasi kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau
tangannya yang teriris pisau.
Makna
membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita dapat
mewujudkan rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi.
Zaman
beredar dan kini kita hidup di zaman millennium. Kemampuan kita menyesuaikan
diri dengan situasi dan kondisi zaman ini diuji dengan berbagai masalah, antar
lain:
- Kelangkaan bahan-bahan baku banten.
- Waktu yang terbatas untuk membuat banten.
- Tidak semua umat Hindu di Bali bisa membuat banten sendiri.
Tentang
kelangkaan bahan-bahan baku banten sudah kita maklumi, karena busung, pisang,
kelapa, telur, bebek, dan ayam, tidak sedikit yang sudah didatangkan dari luar
Bali antara lain: Sulawesi, Lombok, dan Jawa.
Waktu
yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam menyiapkan sarana-sarana upakara
menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten,
istilahnya “nunas puput”. Generasi muda mulai bertanya-tanya, mengapa kok
melaksanakan ajaran Agama Hindu di Bali dalam bentuk ritual/ upacara menjadi
sangat sulit dan mahal.
“Model”
umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini terlihat sudah
lumrah seperti: sewa tenda, sewa korsi, pesan katering, dan nunas ayaban di
Geria lengkap dengan Sulinggih yang muput. Serba praktis dan ekonomis walaupun
segi-segi adat-dresta kegotong-royongan hilang, dan segi sakral membuat banten
pada Sang Yajamana hilang.
Jika
dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya seperti diuraikan di
atas, agaknya hal yang paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten.
Apalah
artinya banten jika Sang Yajamana tidak mengerti dengan makna banten yang
dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada
orang tua kita tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan pada
orang tuamu? Jawabannya ya, nggak tau! Aneh bukan?
Fenomena
seperti itu akan terus berkembang lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga
sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah
karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak.
Konsep-konsep
Manawadharmasastra yang mengatur pembagian tugas pekerjaan rumah tangga antara
suami/ istri banyak tidak berlaku lagi. Suami mestinya menghidupi keluarga, dan
Istri mestinya mengurus rumah, terutama masalah Panca yadnya dan dengan
sendirinya membuat banten.
Adakah
jalan keluar menghadapi fenomena seperti itu? Untuk ini ada beberapa hal yang
perlu dikemukakan:
1.
Dalam banyak kitab suci antara lain: Manawadharmasastra, Parasaradharmasastra,
dll. disebutkan bahwa cara kita beragama di setiap zaman tidaklah sama. Di
zaman Kali seperti sekarang ini, cara kita beragama mestinya lebih menekankan
pada pencurahan kasih sayang kepada sesama manusia misalnya dalam bentuk dana
punia.
2.
Namun demikian tidak berarti bahwa kegiatan ritual keagaman dalam bentuk upacara-upacara
yadnya diabaikan. Upacara itu tetap dilaksanakan namun para Sulinggih diharap
memberikan dharmawacana agar sang yajamana mengerti dengan makna upacara yadnya
yang diselenggarakannya.
3.
Sesuai dengan konsep Desa-Kala-Patra maka umat Hindu di Bali diharapkan
menyelenggarkan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan finansial yang nyata dan
waktu yang luang.
Oleh
karena itu banten yang dikategorikan dalam kelompok: alit-madya-ageng hendaknya
dijelaskan oleh para Sulinggih kepada umat secara luas, dengan menekankan bahwa
banten yang alit tidak berarti nilainya lebih rendah dari banten yang
madya-utama, demikian sebaliknya, karena hakekat banten adalah curahan rasa
bhakti dan kasih kepada Hyang Widhi.
Janganlah
sampai umat kita menghadapi kesulitan atau menjadi miskin karena melaksanakan
upacara yadnya secara keliru, yaitu membeli banten melebihi batas kemampuan
finansialnya yang nyata.
4.
Apabila terpaksa membeli banten, belilah dari orang yang diyakini memenuhi
syarat sebagai tukang banten.
5.
Para tukang banten hendaknya turut memikirkan dan mengupayakan bagaimana
caranya agar umat kita tidak terlalu mahal membeli banten, lebih-lebih jika
diingat bahwa tukang banten adalah kelompok orang yang disucikan dan dengan
demikian diharapkan sudah mampu menguasai “Sad-ripu” yang ada dalam dirinya
sendiri.
Demikianlah
sumbangan tulisan ini dan berharap semoga ada manfaatnya bagi para pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar