Salah
satu filsafat yang berkaitan dengan pola hubungan antara manusia dengan
alam (bagian dari Trihitakarana) adalah konsep keadaan alam yang
bertingkat, yaitu “Alam Atas” (Swahloka), “Alam Tengah” (Bhuahloka), dan
“Alam Bawah” (Bhurloka).
Masing-masing mempunyai sifat: Swahloka
adalah Utama, Bhuahloka adalah Madya, dan Bhurloka adalah Nista, dan
dikaitkan dengan “stana”, yaitu Swahloka adalah alam Dewa, Bhuahloka
adalah alam manusia, dan Bhurloka adalah alam mahluk rendahan.
Dari pemahaman demikian berkembanglah
tatanan: Utama-Madya-Nista baik secara vertikal maupun secara
horisontal. Oleh karena manusia sebagai konsep sentral pemikiran, maka
terjadilah pasangan-pasangan antinomis seperti:
1. Kepala manusia disebut sebagai utama, badan disebut sebagai madya, dan kaki disebut sebagai nista.
Kepala dan badan digabung sebagai “Hulu”
dan kaki sebagai “Teben”. Gunung (Keadiya) yang dianggap sebagai stana
Dewa-Dewa dipandang sebagai hulu, dan Laut (Kelot) dipandang sebagai
teben. Posisi tidur meletakkan kepala di hulu dan kaki di teben.
Posisi palinggih-palinggih di Sanggah
Pamerajan atau di pura-pura, posisi duduk diantara orang tua dan anak,
antara Sulinggih dan Walaka, dll. semuanya memperhatikan masalah
hulu-teben ini.
2. Purwadaksina (pradaksina) dan
Prasawiya (utarayana), yang artinya berputar ke kanan (searah jarum jam)
dan berputar ke kiri (berlawanan arah jarum jam), dipahami sebagai
peningkatan status atau menuju Swahloka-Utama (untuk Purwadaksina), dan
sebagai penurunan status atau menuju Bhurloka-Nista (untuk Prasawiya).
Dalam penyelenggaraan upacara yang
memerlukan perputaran hendaknya dipikirkan (jangan dihafalkan) apakah
perputaran itu dianggap menuju Utama atau menuju Nista; jika dianggap
menuju Utama, lakukanlah Purwadaksina; jika dianggap menuju Nista
lakukanlah Prasawiya.
Pandita meminta hal ini tidak dihafalkan, tetapi dimengerti, karena untuk upacara yang sama, tidak selalu perputarannya sama.
Contohnya, upacara mabeakala. Untuk
pengantin, mabeakala maknanya ma-bhuta saksi; oleh karena itu
perputarannya ke kiri (Prasawiya). Untuk bapak-ibu yang akan
mengupacarakan tiga bulanan anaknya, mabeakala maknanya meninggalkan
masa cuntaka karena melahirkan; oleh karena itu perputarannya ke kanan
(Purwadaksina).
Mekalahyas, dan Ngider Ida Bethara selalu ke kanan (Purwadaksina) karena menuju Swahloka-Utama.
Memutar mayat/ wadah/ lembu selalu ke
kiri (Prasawiya) karena maknanya menurunkan status-Nista, dan perpisahan
dengan alam Bhuwahloka.
Tetapi perputaran abu jenasah yang akan
dihanyut ke segara, dan juga perputaran abu sekah, selalu dilakukan ke
kanan (Purwadaksina) karena maknanya peningkatan status menuju
Swahloka-Utama, yaitu dari status Sang Lina (mayat) menjadi Sang Pitara
(ketika Nyekah) dan menjadi Dewa Hyang (ketika mepaingkup di Sanggah
Pamerajan).
3. Konsep Kiwa-Tengen atau juga disebut
sebagai Pangiwa-Panengen atau dalam Bahasa Indonesia Kiri-Kanan,
mengambil anatomi tubuh manusia, karena manusia dianggap sebagai sentrum
(sentral pemikiran).
Konsep ini dikaitkan dengan “Ruabhineda”
di mana Kanan adalah Dharma, dan Kiri adalah Sakti. Filsafat ini masuk
ke dalam “Praja” (keluarga) di mana ibu-ibu rumah tangga disebut sebagai
Tengen karena melaksanakan Dharmaning Praja, yaitu tugas-tugas:
mengatur rumah tangga, menyiapkan bebanten/ sajen, memelihara anak-anak,
merawat mertua, dll.
Ayah sebagai kepala keluarga
berkewajiban menghidupi keluarga atau dengan kata lain mencari nafkah.
Untuk mencari nafkah ia harus bekerja dengan menggunakan kekuatan badan
dan pikirannya atau dengan istilah filsafat Hindu, ia harus menggunakan
kesaktiannya; itu berarti pihak ayah (laki-laki) disebut sebagai Kiwa.
Lebih jauh filsafat ini memasuki posisi
Rong Tiga (Kemulan), di mana rong sebelah kanan adalah untuk Pradana
(Wanita), rong kiri adalah untuk Purusa (Laki-laki) dan rong tengah
untuk Suniaatma.
Kiri-kanan dalam Rong Tiga adalah dari
Linggih Kemulan, tegasnya bila Kemulan menghadap ke Barat, yang kiri
adalah yang di Selatan, dan yang kanan adalah yang di Utara. Bila
Kemulan menghadap ke Utara, yang kiri adalah yang di Barat, dan yang
kanan adalah yang di Timur.
Menanam ari-ari, bila bayinya perempuan
ditanam di kanan (sebelum) pemedal rumah, dan bila laki-laki ditanam di
kiri (sebelum) pemedal rumah, kanan dan kiri dari pandangan rumah menuju
jalan.
Meletakkan Tugu (Sedahan Karang) tidak
memperhatikan kiri-kanan tetapi memperhatikan hulu-teben. Letakkanlah di
bagian teben dari tanah pekarangan, karena yang di hulu adalah Kemulan
Rong-3.
Cara berbusana bagi wanita, ujung wastra dan kampuh selalu menuju ke kanan (dari arah kiri) dan sebaliknya bagi laki-laki.
Sumber sastra: Lontar-lontar Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, dan Gong Besi.
Saya bingung masalah ngelinggihang di kiri atau di kanan karna kebanyakan yg di kanan adalah yg laki laki sedangkan yg perempuan sebelah kiri
BalasHapus