Setahu
saya ada dua tempat di Buleleng yang memampang slogan itu, pertama di
Desa Banyuning, kota Singaraja, dekat sekolah teknik, dan di Desa
Bungkulan dekat jembatan. “Jele-melah gumi gelah” begitu bunyi slogan
yang terpampang gagah, besar, dipahatkan pada tembok batu.
Artinya sama dengan slogan angkatan laut
Inggris: Right or wrong is my country. Slogan yang membangkitkan
semangat dan kebanggaan nasionalisme, memperjuangkan hak sebagai suatu
bangsa, berani membela kepentingan negara, dan cinta nusa bangsa tanpa
syarat dalam keadaan apa pun, di mana saja. Ya, buruk ataupun baik toh
kau Indonesia, tanah airku!
Di bulan Agustus ini, bulan yang keramat
bagi bangsa Indonesia karena kemerdekaan kita diproklamirkan pada
tanggal 17 oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil-wakil Bangsa
Indonesia, slogan yang gagah itu menggelitik nurani.
Dalam perjalanan ke Desa Bila-bajang,
untuk kesekian kalinya slogan itu saya baca, sambil berpikir, apa
kira-kira maknanya jika dikaitkan pada keadaan bangsa Indonesia saat
ini.
Lalu apa pula sikap kita sekarang,
masihkah kita mempunyai jiwa patriot yang bangga pada nusa-bangsa, atau
slogan seperti itu hanya pengelakan dari kondisi carut-marut Indonesia
yang dinilai buruk oleh dunia internasional, bahkan oleh bangsanya
sendiri?
Perasaan putus-asa yang seolah-olah
tidak menemukan jalan keluar, frustasi yang menumpuk berpuluh tahun
melihat tidak tercapainya cita-cita kemerdekaan seperti yang
dikumandangkan Bung Karno lebih dari enam puluh tahun yang lalu.
Masyarakat yang toto-tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi,
murah kang sarwo tinuku, subur kang sarwo tinandur.
Pengelakan dan kompensasi ke slogan yang
sedikit menghibur, itukah maknanya kini? Atau “nasihat” kepada generasi
muda seperti: “sudahlah, jangan menjelekkan negeri sendiri,
bagaimanapun ini kan tanah kelahiranmu, yang harus dicintai dan
dibanggakan!”
Beberapa orang yang nampaknya sudah
tidak sabar mengatakan slogan itu tidak sesuai dengan kondisi sekarang,
karena seolah-olah kita apatis, pasif, dan mau menerima begitu saja
keadaan buruk yang membelenggu berpuluh tahun.
Betulkah keadaan kita buruk atau jele?
Jawabannya bisa “ya” bisa “tidak” karena masing-masing jawaban mempunyai
alasan. Yang mengatakan “tidak buruk” artinya baik atau melah,
membandingkan keadaan sekarang dengan dahulu sebelum merdeka dari
penjajahan Belanda/ Jepang.
Dulu kita buta huruf, miskin, dihina,
bodoh. Sekarang kita bersekolah, beberapa orang sudah kaya, tidak dihina
oleh bangsa lain, dan masyarakat Indonesia tidak bodoh.
Lain halnya dengan mereka yang
mengatakan keadaan kita sekarang buruk. Mereka lebih cerdas karena
mengambil data yang akurat dengan standar umum atau internasional.
Misalnya tentang pendapatan rata-rata
penduduk di Indonesia yang rendah, hanya US$200,- per tahun, tingginya
tingkat pengangguran atau kurang tersedianya lapangan kerja, rendahnya
mutu pendidikan, dan yang paling memalukan adalah Indonesia menjadi
negara terkorup nomor enam dari 133 negara di dunia.
Selain itu Indonesia dikenal oleh dunia
barat sebagai sarang teroris, isu disintegrasi bangsa, penegakan hukum
yang ambivalen, hutang luar negeri yang sangat besar, iklim demokrasi
yang jauh dari baik, dan tidak jelasnya konsep politik luar negeri.
Semuanya menempatkan Indonesia pada zona
merah yaitu suatu bangsa yang lemah yang bergerak menuju kegagalan,
seperti yang diungkapkan oleh Robert I. Rotberg (Kompas 28 Maret 2002).
Jele-melah gumi gelah, slogan yang
menghibur, pengalih frustasi, karena diucapkan dengan mulut kecut, namun
tetap bangga menjadi bangsa Indonesia. Kening yang berkerut hanya
menimbulkan pertanyaan: apa yang salah?
Cita-cita kemerdekaan yang didengungkan
para pemimpin angkatan 45 hanya terdengar gaungnya saja. Konsep mereka
sangat bagus; tengoklah Pancasila. Tidak ada bangsa lain di dunia yang
mempunyai konsep sedemikian indah dan lengkap.
Tetapi sekali lagi kenapa Indonesia yang
mempunyai dasar Negara begitu agung dengan menempatan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa di urutan nomor satu lantas menjadi carut-marut seperti
ini, kebanyakan malah seperti tidak melaksanakan ajaran agama
masing-masing dengan baik.
Korupsi dan terorisme, adalah dua contoh
kasus yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila itu. Ngurah Rai
menangis, sia-sialah jiwa-raga yang dikorbankannya karena ulah kita di
masa kini.
Yang tidak sadar pada keadaan sekarang
seperti I buta-bongol, tidak peduli, masa bodoh, yang utama adalah
kepentingan diri sendiri terpenuhi. Yang sadar, mengelus dada, meringis,
memikirkan nasib bangsa ini ke depan, nasib anak-cucu kita sendiri.
Kalau dikaji lebih dalam slogan itu:
Jele-melah gumi gelah, dapat diarahkan kepada hal yang positif. Terutama
karena ia dapat membangkitkan nasionalisme, cinta tanah air, cinta
nusa-bangsa.
Rasa cinta itu dibarengi dengan
keinginan yang tulus untuk memperbaiki keadaan. Sesuatu yang kurang baik
dibenahi. Tindakan serentak tidak hanya digantungkan pada pemerintah,
tetapi juga harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Jika benar-benar kita bertekad mengejar
ketinggalan dan mengatasi krisis multi dimensi, dengan semangat tinggi
seperti yang dilakukan oleh para pejuang di tahun 1945, pasti akan
berhasil. Para pejuang kemerdekaan telah membuktikan bahwa bangsa
Indonesia sebenarnya mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Hanya dengan bambu runcing saja mampu
mengusir penjajah yang telah bercokol lebih dari tiga abad di bumi
pertiwi. Negara-negara lain yang porak-poranda karena perang juga bisa
bangkit dalam waktu relatif singkat, seperti Jepang, Korea, Cina, dan
Vietnam.
Kebangkitan itu dimulai dari pribadi
setiap individu bangsa Indonesia. Sebelum melangkah lebih jauh, benahi
diri sendiri dahulu, berawal dari perubahan sikap, pola hidup, memilih
nilai-nilai positif, serta mampu menolak pengaruh negatif dari
globalisasi dunia yang menggebu.
Salah satu contoh yang nyata, bila kita
sadar bahwa korupsi adalah perbuatan amoral yang dapat menghancurkan
negara, lalu kita berteriak-teriak menyatakan anti korupsi, maka prinsip
itu hendaknya dipegang teguh.
Jangan karena kita tidak mendapat
kesempatan korupsi bisa berkata keras, namun setelah menjadi pejabat dan
mempunyai peluang korupsi kemudian prinsip itu memudar, bahkan turut
melakukan perbuatan hina seperti itu.
Pendidikan anak-anak juga sangat penting
diperhatikan. Bagaimana upaya kita agar anak-anak sebagai generasi
penerus mampu mandiri dalam jalur dharma. Mereka hendaknya mempunyai
semangat hidup yang kuat, setia pada nusa-bangsa, menjunjung tinggi
nilai-nilai moral sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Disiplin kehidupan, kecerdasan,
kreativitas, dan cinta kasih kepada setiap orang adalah modal utama
menuju kebangkitan di masa depan. Pendidikan dimulai dari rumah. Orang
tua patut memperhatikan ini. Jangan memanjakan anak-anak, jangan biarkan
dia hidup tanpa arah, dan yang terpenting, jangan biarkan dia menjadi
orang yang pikirannya berpola konsumtif.
Ia harus berpikiran produktif, karena
dari pijakan ini ia akan berkembang menjadi manusia yang inovatif,
dinamis, dan berguna bagi nusa bangsa.
Pendidikan agama yang menjadi dasar dari
kehidupan yang sehat perlu dipacu lebih menukik pada penghayatan
filsafat, agar tercermin pada aktivitas sehari-hari. Jangan mendidik
mereka menjadi “agamawan” yang hafal dengan materi kitab suci, tetapi
miskin dalam amal kebajikan.
Akhir renungan menjelang perayaan tujuh
belas Agustus, kapankah kita bisa keluar dari krisis ini? Jawabannya
mudah: “bila kita mampu bangkit dari keterpurukan dengan kekuatan
sendiri” Ya, tergantung pada kita, bukan tergantung dari bangsa/ negara
lain!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar