Sabtu, 03 Agustus 2013

Renungan 17 Agustus

Jele Melah Gumi Gelah

Setahu saya ada dua tempat di Buleleng yang memampang slogan itu, pertama di Desa Banyuning, kota Singaraja, dekat sekolah teknik, dan di Desa Bungkulan dekat jembatan. “Jele-melah gumi gelah” begitu bunyi slogan yang terpampang gagah, besar, dipahatkan pada tembok batu.
Artinya sama dengan slogan angkatan laut Inggris: Right or wrong is my country. Slogan yang membangkitkan semangat dan kebanggaan nasionalisme, memperjuangkan hak sebagai suatu bangsa, berani membela kepentingan negara, dan cinta nusa bangsa tanpa syarat dalam keadaan apa pun, di mana saja. Ya, buruk ataupun baik toh kau Indonesia, tanah airku!
Di bulan Agustus ini, bulan yang keramat bagi bangsa Indonesia karena kemerdekaan kita diproklamirkan pada tanggal 17 oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil-wakil Bangsa Indonesia, slogan yang gagah itu menggelitik nurani.
Dalam perjalanan ke Desa Bila-bajang, untuk kesekian kalinya slogan itu saya baca, sambil berpikir, apa kira-kira maknanya jika dikaitkan pada keadaan bangsa Indonesia saat ini.
Lalu apa pula sikap kita sekarang, masihkah kita mempunyai jiwa patriot yang bangga pada nusa-bangsa, atau slogan seperti itu hanya pengelakan dari kondisi carut-marut Indonesia yang dinilai buruk oleh dunia internasional, bahkan oleh bangsanya sendiri?
Perasaan putus-asa yang seolah-olah tidak menemukan jalan keluar, frustasi yang menumpuk berpuluh tahun melihat tidak tercapainya cita-cita kemerdekaan seperti yang dikumandangkan Bung Karno lebih dari enam puluh tahun yang lalu. Masyarakat yang toto-tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, murah kang sarwo tinuku, subur kang sarwo tinandur.
Pengelakan dan kompensasi ke slogan yang sedikit menghibur, itukah maknanya kini? Atau “nasihat” kepada generasi muda seperti: “sudahlah, jangan menjelekkan negeri sendiri, bagaimanapun ini kan tanah kelahiranmu, yang harus dicintai dan dibanggakan!”
Beberapa orang yang nampaknya sudah tidak sabar mengatakan slogan itu tidak sesuai dengan kondisi sekarang, karena seolah-olah kita apatis, pasif, dan mau menerima begitu saja keadaan buruk yang membelenggu berpuluh tahun.
Betulkah keadaan kita buruk atau jele? Jawabannya bisa “ya” bisa “tidak” karena masing-masing jawaban mempunyai alasan. Yang mengatakan “tidak buruk” artinya baik atau melah, membandingkan keadaan sekarang dengan dahulu sebelum merdeka dari penjajahan Belanda/ Jepang.
Dulu kita buta huruf, miskin, dihina, bodoh. Sekarang kita bersekolah, beberapa orang sudah kaya, tidak dihina oleh bangsa lain, dan masyarakat Indonesia tidak bodoh.
Lain halnya dengan mereka yang mengatakan keadaan kita sekarang buruk. Mereka lebih cerdas karena mengambil data yang akurat dengan standar umum atau internasional.
Misalnya tentang pendapatan rata-rata penduduk di Indonesia yang rendah, hanya US$200,- per tahun, tingginya tingkat pengangguran atau kurang tersedianya lapangan kerja, rendahnya mutu pendidikan, dan yang paling memalukan adalah Indonesia menjadi negara terkorup nomor enam dari 133 negara di dunia.
Selain itu Indonesia dikenal oleh dunia barat sebagai sarang teroris, isu disintegrasi bangsa, penegakan hukum yang ambivalen, hutang luar negeri yang sangat besar, iklim demokrasi yang jauh dari baik, dan tidak jelasnya konsep politik luar negeri.
Semuanya menempatkan Indonesia pada zona merah yaitu suatu bangsa yang lemah yang bergerak menuju kegagalan, seperti yang diungkapkan oleh Robert I. Rotberg (Kompas 28 Maret 2002).
Jele-melah gumi gelah, slogan yang menghibur, pengalih frustasi, karena diucapkan dengan mulut kecut, namun tetap bangga menjadi bangsa Indonesia. Kening yang berkerut hanya menimbulkan pertanyaan: apa yang salah?
Cita-cita kemerdekaan yang didengungkan para pemimpin angkatan 45 hanya terdengar gaungnya saja. Konsep mereka sangat bagus; tengoklah Pancasila. Tidak ada bangsa lain di dunia yang mempunyai konsep sedemikian indah dan lengkap.
Tetapi sekali lagi kenapa Indonesia yang mempunyai dasar Negara begitu agung dengan menempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa di urutan nomor satu lantas menjadi carut-marut seperti ini, kebanyakan malah seperti tidak melaksanakan ajaran agama masing-masing dengan baik.
Korupsi dan terorisme, adalah dua contoh kasus yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila itu. Ngurah Rai menangis, sia-sialah jiwa-raga yang dikorbankannya karena ulah kita di masa kini.
Yang tidak sadar pada keadaan sekarang seperti I buta-bongol, tidak peduli, masa bodoh, yang utama adalah kepentingan diri sendiri terpenuhi. Yang sadar, mengelus dada, meringis, memikirkan nasib bangsa ini ke depan, nasib anak-cucu kita sendiri.
Kalau dikaji lebih dalam slogan itu: Jele-melah gumi gelah, dapat diarahkan kepada hal yang positif. Terutama karena ia dapat membangkitkan nasionalisme, cinta tanah air, cinta nusa-bangsa.
Rasa cinta itu dibarengi dengan keinginan yang tulus untuk memperbaiki keadaan. Sesuatu yang kurang baik dibenahi. Tindakan serentak tidak hanya digantungkan pada pemerintah, tetapi juga harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Jika benar-benar kita bertekad mengejar ketinggalan dan mengatasi krisis multi dimensi, dengan semangat tinggi seperti yang dilakukan oleh para pejuang di tahun 1945, pasti akan berhasil. Para pejuang kemerdekaan telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Hanya dengan bambu runcing saja mampu mengusir penjajah yang telah bercokol lebih dari tiga abad di bumi pertiwi. Negara-negara lain yang porak-poranda karena perang juga bisa bangkit dalam waktu relatif singkat, seperti Jepang, Korea, Cina, dan Vietnam.
Kebangkitan itu dimulai dari pribadi setiap individu bangsa Indonesia. Sebelum melangkah lebih jauh, benahi diri sendiri dahulu, berawal dari perubahan sikap, pola hidup, memilih nilai-nilai positif, serta mampu menolak pengaruh negatif dari globalisasi dunia yang menggebu.
Salah satu contoh yang nyata, bila kita sadar bahwa korupsi adalah perbuatan amoral yang dapat menghancurkan negara, lalu kita berteriak-teriak menyatakan anti korupsi, maka prinsip itu hendaknya dipegang teguh.
Jangan karena kita tidak mendapat kesempatan korupsi bisa berkata keras, namun setelah menjadi pejabat dan mempunyai peluang korupsi kemudian prinsip itu memudar, bahkan turut melakukan perbuatan hina seperti itu.
Pendidikan anak-anak juga sangat penting diperhatikan. Bagaimana upaya kita agar anak-anak sebagai generasi penerus mampu mandiri dalam jalur dharma. Mereka hendaknya mempunyai semangat hidup yang kuat, setia pada nusa-bangsa, menjunjung tinggi nilai-nilai moral sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Disiplin kehidupan, kecerdasan, kreativitas, dan cinta kasih kepada setiap orang adalah modal utama menuju kebangkitan di masa depan. Pendidikan dimulai dari rumah. Orang tua patut memperhatikan ini. Jangan memanjakan anak-anak, jangan biarkan dia hidup tanpa arah, dan yang terpenting, jangan biarkan dia menjadi orang yang pikirannya berpola konsumtif.
Ia harus berpikiran produktif, karena dari pijakan ini ia akan berkembang menjadi manusia yang inovatif, dinamis, dan berguna bagi nusa bangsa.
Pendidikan agama yang menjadi dasar dari kehidupan yang sehat perlu dipacu lebih menukik pada penghayatan filsafat, agar tercermin pada aktivitas sehari-hari. Jangan mendidik mereka menjadi “agamawan” yang hafal dengan materi kitab suci, tetapi miskin dalam amal kebajikan.
Akhir renungan menjelang perayaan tujuh belas Agustus, kapankah kita bisa keluar dari krisis ini? Jawabannya mudah: “bila kita mampu bangkit dari keterpurukan dengan kekuatan sendiri” Ya, tergantung pada kita, bukan tergantung dari bangsa/ negara lain!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar