Minggu, 28 Juli 2013

Tirta Yatra

Seputar Dharma Yatra

Dharma Yatra dalam bahasa sehari-hari disebut Tirta Yatra, namun menurut lontar Sila Krama, Tirta Yatra dibedakan dengan Tirta Gamana.
Bepergian dengan tujuan mensucikan diri, mendalami srada bhakti ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, mengenal Pura-Pura atau tempat-tempat suci dan melaksanakan ajaran agama dalam segala bentuk selama dalam perjalanan, dan setelah selesai kembali ke rumah, disebut Tirta Gamana.
Sedangkan bila tidak kembali ke rumah sampai meninggal dunia di suatu tempat yang disucikan, dinamakan Tirta Yatra. PHDI Pusat dalam bukunya “Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia” terbitan Upada Sastra tahun 1993, menggunakan istilah Dharma Yatra untuk kegiatan dimaksud.
Mempersiapkan diri
Agar tujuan Dharma Yatra tercapai, diperlukan persiapan sebagai berikut:
  1. Kesehatan atau kondisi phisik mendukung
  2. Perlengkapan: banten, alat-alat persembahyangan, pakaian bersih dll. tersedia. Bagi sulinggih, membawa ‘pasiwa kranaan’; bagi para pemangku ekajati membawa dulang, gentha, sangku dll.
  3. Mapiuning di Sanggah Pamerajan. Bila ingin ‘nangkilang’ Raja Dewata (roh leluhur) ke Pura/tempat suci yang akan dikunjungi, boleh ‘ngadegang kampuh lanang-istri’ dibawa bersama-sama me-dharma yatra.
  4. Meneguhkan kemauan untuk me-dharma yatra.
Dalam perjalanan
Selama dalam perjalanan para peserta melakukan tapa, dan brata. Tapa adalah pengendalian diri dalam perbuatan (kayika), perkataan (wacika), dan pikiran (manacika). Kayika parisudha: ahimsa, tan mamandung, tan paradara; Wacika parisudha: tan ujar ahala, tan ujar aperegas, tan ujar pisuna, satya wacana; Manacika parisudha: tan adengkya ri drwianing len, mamituhwa ri hananing karma-phala, masih ring sarwa satwa. Brata adalah: upawasa dan mona-brata. Oleh karena itu akan sangat baik bila dalam perjalanan para peserta melantunkan kekidungan, atau mendengarkan dharma wacana dan me-dharma tula.
Tiba di tujuan
Siapkan banten dan perlengkapan lainnya. Bila di tempat tujuan ada mata air, laut, atau pesiraman, baik sekali untuk mandi/membersihkan diri agar badan segar kembali. Setelah berpakaian yang bersih, tenangkan pikiran, kemudian lanjutkan dengan prosesi persembahyangan sebagaimana mestinya. Bila ngiringang Ida Sulinggih beliau terlebih dahulu akan nyurya sewana. Setelah itu ngaturang banten dan dilanjutkan dengan persembahyangan.  Sementara menunggu Ida Sulinggih nyurya sewana, para peserta dapat melakukan yoga-samadhi.
Pura-Pura yang akan dikunjungi
1. Pura Ponjokbatu, Buleleng
Pura yang terletak di Kecamatan Tejakula ini adalah tempat persinggahan
Ida Danghyang Nirartha pada abad ke 14, dalam perjalanan beliau meninjau daerah Den Bukit dan dilanjutkan ke Lombok. Di tanjung (ponjok) sebelah timur terlihat sebuah perahu yang terdampar ke pantai dimana awak perahunya semua pingsan. Ida Danghyang Nirartha menyembuhkan awak perahu itu, dengan memberi mereka minum dari mata air dipinggir pantai yang muncul atas puja mantra beliau. Selanjutnya Ida Danghyang Nirartha berangkat ke Lombok bersama-sama para awak perahu itu. Dimalam hari, batu-batu tempat Ida Danghyang Nirartha beristirahat, bercahaya. Oleh penduduk setempat disana dibangun pura yang kemudian dinamakan Pura Ponjokbatu.
2. Pura Pulaki dan Pura Melanting, Buleleng
Pura ini berada di Kecamatan Gerokgak. Ketika Ida Danghyang Nirartha tiba di Purancak (Jembrana) dari Blambangan, beliau melihat seekor naga yang besar. Setelah masuk kedalam mulut naga, dilihatnya sebuah telaga yang ditumbuhi bunga tunjung berwarna putih, merah, dan hitam. Ketiga bunga itu dipetiknya; yang merah disumpangkan ditelinga kanan, yang hitam ditelinga kiri, dan yang putih dipegang di dada. Ketika keluar dari mulut naga, istri beliau: Sri Patni Keniten bersama 7 putra/putrinya sangat takut melihat rupa Ida Danghyang Nirartha yang nampak sebagai raksasa dengan warna wajah yang berubah-ubah. Istri dan putra-putrinya lari berhamburan, walaupun berkali-kali dipanggil. Suara panggilan itu terdengar bagaikan guruh yang menakutkan. Sampai dipantai utara Buleleng, ditemuilah istrinya yang sudah kepayahan, dan putrinya  bernama Ida Ayu Swabhawa yang menangis menyesali kehidupan. Ida Ayu Swabhawa mohon kepada ayahnya agar beliau di moksahkan. Ida Danghyang Nirartha memenuhi permintaan putrinya serta memberikan kehidupan abadi sebagai Bhatari/Dewi. Beliau bergelar Bhatari Dalem Melanting, distanakan di Pura Melanting. Pura ini kemudian disembah bhakti oleh penduduk disekitarnya untuk memohon kesejahteraan dan keberuntungan dalam hidup. Istri beliau, Sri Patni Keniten juga mohon hal yang sama. Beliau diberikan kehidupan abadi, bergelar Bhatari Dalem Ketut dan distanakan tidak jauh dari Pura Melanting, yaitu di Mpulaki. Disini kemudian dibangun Pura Pulaki yang disembah bhakti oleh penduduk disekitarnya.
3. Pura Rambut siwi, Jembrana
Dalam babad Dwijendra Tattwa, disebutkan bahwa setelah Ida Danghyang Nirartha diterima oleh Dalem Waturenggong di Gelgel, dan diangkat sebagai purohita, maka Ida Danghyang Nirartha berjalan kearah barat untuk meninjau Bali bagian barat. Sampai di sebuah pura beliau melakukan samadhi, namun disaat itu salah satu gedong pelinggihnya rubuh. Hal ini dilihat oleh seorang penjaga pura yang menangis sedih karena pelinggih itu rubuh. Ida Danghyang Nirartha kemudian memperbaiki pelinggih itu dengan segera. Setelah selesai beliau memberikan sehelai rambutnya yang rontok kepada penjaga pura itu, dengan pesan agar rambut itu di-‘siwi’ (disembah) oleh penduduk disekitarnya. Dimalam hari helai rambut itu bersinar terang. Oleh penduduk setempat pura itu kemudian dinamakan Pura Rambut Siwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar