Wanita Dalam Pandangan Hindu
Wanita
berasal dari Bahasa Sanskrit, yaitu Svanittha, di mana kata Sva artinya
“sendiri” dan Nittha artinya “suci”. Jadi Svanittha artinya “mensucikan
sendiri” kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas
dalam Dharma atau “pengamal Dharma”.
Dari
sini juga berkembang perkataan Sukla Svanittha yang artinya “bibit” atau janin
yang dikandung oleh manusia, dalam hal ini, peranan perempuan. Wanita sangat
diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus “sarana” terwujudnya
Punarbhava atau re-inkarnasi, sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan)
Hindu.
Sejak
mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga
merupakan ciri/ tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu
peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa
menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia
menstruasi.
Wanita
yang sedang menstruasi dijaga tetap berada di dalam kamar agar terlindung dari
mara bahaya. Lihatlah kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa yang
sedang menstruasi menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Dharmawangsa dari
Pandawa melawan Sakuni di pihak Korawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi
oleh Dursasana di depan sidang.
Dewa
Dharma melindungi Drupadi sehingga kain penutup badan Drupadi tidak pernah
habis, tetap melindungi tubuh walau bermeter-meter telah ditarik darinya.
Sejak
awal Drupadi sudah mengingatkan Dursasana, bahwa ia sedang haid, tidak boleh
diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda,
Dursasana dibinasakan Bima, dan Drupadi menebus kaul dengan mencuci rambutnya
dengan darah Dursasana.
Wanita
yang sedang menstruasi harus diperlakukan khusus karena di saat itu ia memerlukan
ketenangan fisik dan mental.
Namun
perkembangan tradisi beragama Hindu di Bali menjadi berbeda, seperti yang
disebutkan dalam Lontar Catur Cuntaka, bahwa wanita yang sedang haid tergolong
“cuntaka” atau “sebel” atau dalam bahasa sehari-hari disebut “kotor”, sehingga
ia dilarang sembahyang atau masuk ke Pura. Ini perlu diluruskan sesuai dengan
filosofi Hindu yang benar.
Wanita
dewasa hendaknya dinikahkan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan Kitab
Suci Manava Dharmasastra III. 21-30, yaitu menurut cara yang disebut sebagai
Brahmana, Daiva, Rsi, dan Prajapati.
Brahmana
wiwaha adalah pernikahan dengan seorang yang terpelajar dan berkedudukan baik;
Daiva wiwaha adalah pernikahan dengan seorang keluarga Pendeta; Rsi wiwaha
adalah pernikahan dengan mas kawin; dan Prajapati wiwaha adalah pernikahan yang
direstui oleh kedua belah pihak.
Di
masyarakat Hindu modern dewasa ini sering ditemui cara perkawinan campuran dari
cara-cara yang pertama, ketiga, dan keempat. Singkatnya, perkawinan yang baik
adalah dengan lelaki yang berpendidikan, berbudi luhur, berpenghasilan, dan
disetujui oleh orang tua dari kedua pihak.
Selanjutnya
dalam Kitab Suci itu juga diulas bahwa pernikahan adalah “Dharma Sampati”
artinya “Tindakan Dharma” karena melalui pernikahan, ada kesempatan
re-inkarnasi bagi roh-roh leluhur yang diperintahkan Hyang Widhi untuk menjelma
kembali sebagai manusia.
Dalam
tinjauan Dharma Sampati itu terkandung peranan masing-masing pihak yaitu suami
dan istri yang menyatu dalam membina rumah tangga. Istri disebut sebagai
pengamal “Dharma”dan Suami disebut sebagai pengamal “Shakti”.
Peranan
istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan
seperti: mengandung, melahirkan, memelihara bayi, dan seterusnya mengajar dan
mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hindu di lingkungan rumah
tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dll.
Peranan
suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran
dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya.
Kombinasi
antara Dharma dan Shakti ini menumbuh kembangkan dinamika kehidupan. Oleh
karena itu pula istri disebut sebagai “Pradana” yang artinya pemelihara, dan
suami disebut sebagai “Purusha”artinya penerus keturunan.
Bila
perkawinan disebut sebagai Dharma, maka sesuai hukum alam (Rta): “rwa-bhineda”
(dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma. Dalam hal ini
perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian, timbul kesengsaraan bagi
pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak, dan mertua.
Maka
dalam Agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan
Adharma atau dosa.
Istri
harus dijaga dengan baik, disenangkan hatinya, digauli dengan halus sesuai
dengan hari-hari yang baik sebagaimana disebut dalam Manava Dharmasastra
III.45:
RTU KALABHIGAMISYAT, SWADHARANIRATAH
SADA, PARVAVARJAM VRAJEKSAINAM, TAD VRATO RATI KAMYAYA
Hendaknya
suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas
dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya
mendekatinya untuk mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik.
Selanjutnya
MD III.55:
PITRBHIR BHATRBHIS, CAITAH PATIBHIR
DEVARAISTATHA, PUJYA BHUSAYITA VYASCA, BAHU KALYANMIPSUBHIH
Istri
harus dihormati dan disayangi oleh mertua, ipar, saudara, suami dan anak-anak
bila mereka menghendaki kesejahteraan dirinya.
Ucapan
“sorga ada ditangan wanita” bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam
MD.III.56:
YATRA NARYASTU PUJYANTE, RAMANTE TATRA
DEVATAH, YATRAITASTU NA PUJYANTE, SARVASTATRAPHALAH KRIYAH
Di
mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana
mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.
Lebih
tegas lagi dalam pasal berikutnya: 57:
SOCANTI JAMAYO YATRA, VINASYATYACU
TATKULAM, NA SOCANTI TU YATRAITA, VARDHATE TADDHI SARVADA
Di
mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di
mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.
Dan
pasal 58:
JAMAYO YANI GEHANI, CAPANTYA PATRI
PUJITAH, TANI KRTYAHATANEVA, VINASYANTI SAMANTARAH
Rumah
di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan,
keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.
Mengingat
demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para
orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran
kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga
Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki.
Ia
bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air,
menyediakan sarapan, mesaiban, memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah
mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan,
mebebantenan, menjama beraya, dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan adat dan agama.
Tanpa
wanita seolah-olah kegiatan di dunia ini terhenti, sehingga seorang lelaki
dewasa yang belum juga menikah dianggap suatu keanehan, kecuali memang niatnya
melakukan berata “nyukla brahmacari” artinya tidak kawin seumur hidup seperti
yang dilakukan oleh Maha Rsi Bisma dalam ephos Mahabharata, dengan tujuan
tertentu, yaitu memberikan kesempatan kepada keturunan adik tirinya menduduki
tahta kerajaan.
Wanita
Hindu juga dibelenggu oleh sederetan norma-norma yang lebih ketat sehingga
membedakan perilakunya di masyarakat dengan kaum lelaki. Pada beberapa hal ia
tidak boleh melakukan hal yang sama seperti laki-laki. Baru zaman sekarang saja
wanita “dibolehkan” memakai celana panjang, menyetir mobil, pergi ke mana-mana
sendirian, berbicara bebas, dll.
Itu
semua sebagai dampak pengaruh budaya dari “luar” Hindu. Di beberapa negara yang
masih ketat melaksanakan norma-norma Hindu, wanita masih berlaku demikian,
misalnya di India dan Nepal. Di sana malah ada yang masih menutupi wajahnya
dengan cadar, dan sangat tabu memakai pakaian yang menampakkan aurat walau
seminimal mungkin.
Wanita
Hindu Nusantara di masa kini dan di masa depan tentulah tidak boleh ketinggalan
dari kaum lelaki dalam menempuh karir dan pendidikan serta menyelenggarakan
kehidupan sebagaimana mestinya.
Persoalannya
adalah bagaimana menempatkan diri secara bijaksana, sehingga peranan semula
sebagai “pengamal Dharma” dalam rumah tangga tetap dapat dipertahankan sesuai
dengan ayat-ayat Kitab Suci Veda seperti yang dikemukakan tadi.
Berbagai
upaya mesti dirancang dengan baik oleh ibu-ibu rumah tangga sejak awal,
mendidik anak-anak gadisnya, membesarkan dalam nuansa Hindu, dan akhirnya ketika
gadis, sudah siap menjadi pengamal Dharma atau dengan kata lain, matang untuk
menjadi istri atau pendamping suami yang baik.
Om A no bhadrah krattavo yantu visvatah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar