Berupacara Dengan Biaya Murah
Upacara adalah salah satu dari tiga kerangka Agama Hindu. Dua lainnya adalah Tattwa dan Susila.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan bagaikan sebutir telur, Tattwa diibaratkan
sebagai sari telur yang berwarna kuning, Susila diibaratkan sebagai
putih telur, dan Upacara diibaratkan sebagai kulit telur.
Tattwa adalah pengetahuan mengenai inti
ajaran Agama Hindu (Weda), dan Susila adalah pelaksanaan tattwa dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Upacara terdiri dari dua kata, yaitu upa
artinya berhubungan dengan, dan cara artinya gerakan. Jadi arti bebasnya
adalah pelaksanaan suatu yadnya.
Yadnya artinya pengorbanan suci yang
tulus ikhlas, secara luas dapat digolongkan dalam dua bentuk. Bentuk
pertama, yaitu yadnya yang dilaksanakan karena adanya Tri Rnam dan
bentuk kedua adalah yadnya yang dilaksanakan karena kewajiban sosial
inter-aktif.
Tri Rnam adalah tiga jenis hutang
manusia sebagai akibat kelahiran dan keberadaannya sebagai manusia yang
berpengetahuan, yaitu hutang kepada Dewa (Hyang Widhi), Rsi, dan Pitara.
Ketiga Rnam itu masing-masing di-”bayar”
dengan yadnya sebagai berikut: Dewa yadnya dan Bhuta yadnya untuk
membayar Dewa Rnam, Rsi yadnya untuk membayar Rsi Rnam, selanjutnya
Pitra yadnya dan Manusa yadnya untuk membayar Pitra Rnam.
Bentuk yadnya yang kedua adalah Drwya
yadnya (ber-dana punia), Jnana yadnya (mengajar, berdharma wacana/
dharma tula) dan Tapa yadnya (pengendalian diri oleh setiap manusia).
Upacara banyak berkaitan dengan yadnya
bentuk pertama yang umumnya disebut sebagai Panca Yadnya. Dalam Manawa
Dharmasastra buku ke-tiga (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 80 ditulis:
RSAYAH PITARO DEWA BHUTANI, ATITHAYASTATHA, ACASATE KUTUMBIBHI, ASTEBHYAH KARYAM WIJANATA.
Artinya: Para Rsi, para Pitra (leluhur),
para Dewa, para Bhuta dan para Tamu (manusia) meminta persembahan dan
pemberian kepada kepala rumah tangga, oleh karena itu ia yang tahu
hukumnya harus memberikan kepada mereka apa yang sesuai untuk
masing-masingnya.
Pasal ini menegaskan bahwa Panca Yadnya merupakan kewajiban yang rutin bagi seorang kepala keluarga.
Dalam putaran kehidupan sehari-hari
terasa adanya kebenaran tentang kewajiban yang rutin ini, dimulai sejak
seorang perjaka menikah dengan upacara pawiwahan, kemudian setelah
istrinya hamil melaksanakan upacara magedong-gedongan, ketika anaknya
lahir berturut-turut dilaksanakan upacara mapag rare, kepus puser, tutug
kambuhan, tiga bulanan, dan otonan.
Setelah anaknya dewasa ada upacara ngraja sewala dan metatah.
Di samping itu sebagai seorang kepala
keluarga ia membimbing anak istrinya melaksanakan upacara yadnya yang
lain misalnya: Dewa, Rsi, dan Bhuta yadnya. Kemudian kewajibannya
sebagai suputra yakni menyelenggarakan pengabenan bagi orang tuanya,
semuanya melengkapi tugasnya melaksanakan upacara Panca Yadnya.
Frekwensi berupacara cukup tinggi bagi
setiap kepala keluarga, sehingga untuk penduduk di satu Desa seolah-olah
tiada hari tanpa upacara. Belum lagi jika dihitung banyaknya warga
Hindu yang mempunyai kewajiban yang sama di seluruh Kecamatan, Kabupaten
dan Propinsi Bali.
Mampukah penduduk beragama Hindu di Bali
melaksanakan kewajibannya itu? Jika diteliti lebih jauh banyak warga
kita yang tidak mampu melaksanakan upacara yadnya karena ketiadaan dana.
Apa yang terjadi jika beberapa jenis upacara yadnya diabaikan?
Sebagaimana diuraikan di atas, upacara
yadnya dilaksanakan karena adanya Tri Rnam. Jika Rnam (hutang) tidak
dibayar kita yakin kehidupan manusia di alam skala dan niskala akan
terganggu. Ambillah contoh jika anak tidak diupacarai tiga bulanan pada
waktunya; ia akan cuntaka berkepanjangan.
Contoh lain, bayi yang lahir dari ibu
yang belum dikawini secara sah melalui upacara pawiwahan disebut anak
“dia-diu” yang cuntaka selamanya. Ada lagi orang tua yang meninggal
dunia namun belum melaksanakan upacara mepandes bagi anak-anaknya, maka
arwahnya tidak akan mendapat tempat di sunia loka.
Anak yang tidak menyelenggarakan upacara
pitra yadnya bagi orang tua atau leluhurnya digolongkan sebagai anak
yang tidak berbakti dan jauh dari ajaran agama Hindu.
Kebimbangan dan kekhawatiran pada
sementara warga Hindu di Bali yang disebabkan karena di satu sisi sadar
akan pentingnya menyelenggarakan upacara yadnya dan di sisi lainnya
tidak mampu membiayai upacara, telah menimbulkan berbagai fenomena.
Ada yang bersikap apatis, dan ada yang
bersusah payah mengumpulkan dana dengan berbagai jalan demi untuk
berupacara. Kelompok yang terakhir ini mungkin saja mengabaikan
segi-segi yang mendasar pada agama Hindu, misalnya mengusahakan dana
dengan jalan KKN atau melalui judian (tajen).
Tidak sedikit ditemukan ada warga
masyarakat yang membangun dan berupacara di suatu Pura dari hasil
pungutan tajen selama bertahun-tahun.
Keluarga-keluarga yang hidupnya
pas-pasan, jika berupacara dengan biaya mahal akan dapat meniadakan
kesempatannya menabung untuk kesejahteraan di masa depan baik bagi
dirinya maupun bagi anak cucunya.
Sering kita lihat warga yang
melaksanakan upacara ngaben mendapat dana dari hasil menjual sawah
ladangnya. Jika hal ini tidak diperhatikan mungkin saja di masa depan
Agama Hindu di Bali akan berkurang popularitasnya karena dianggap Agama
yang ritualnya sulit, dan mahal.
Kini sudah waktunya tokoh-tokoh yang
terlibat secara langsung dalam melaksanakan suatu upacara yadnya
memperhatikan dan memikirkan jalan keluarnya, yaitu bagaimana agar warga
Hindu kita di Bali tetap dapat melaksanakan upacara yadnya dengan baik.
Tokoh-tokoh itu disebut sebagai “Tri
manggalaning yadnya”, yaitu: Sang adruwe karya, Sang widia atau yang
pandai membuat banten, dan Sang Sadaka atau Sulinggih yang muput karya.
Ketiga tokoh ini mempunyai peranan yang menentukan atas sukses tidak
suksesnya suatu upacara, dan mahal atau murahnya biaya upacara yadnya.
Secara umum dapat dipedomani beberapa faktor sebagai berikut:
1. Oleh karena landasan ideal suatu
yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus ikhlas maka yadnya hendaknya
diselenggarakan menurut kemampuan riil yang ada, baik menyangkut Desa,
Kala, maupun Patra.
Yang dimaksud dengan Desa adalah
penggunaan bahan-bahan upakara yang ada atau dimiliki; Kala adalah waktu
yang tersedia bagi penyelenggaraan upacara, dan Patra adalah kemampuan
dana yang riil.
2. Berdasar pemahaman butir 1 itu maka volume upakara (banten) dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu: alit, madya, dan ageng.
Penggolongan ini semata-mata berdasarkan
desa-kala-patra dan tidak berarti bahwa banten yang alit nilainya lebih
rendah daripada yang madya atau ageng, demikian pula sebaliknya, banten
yang ageng tidak berarti lebih tinggi nilainya dari yang alit atau
madya.
3. Besar-kecilnya tingkat upacara
tergantung pula dari banyak tidaknya warga yang mendukung, karena setiap
upacara yadnya akan melibatkan warga dalam kelompok tertentu.
Dalam hubungan ini dapat digambarkan
sebagai bentuk piramida yang terbalik dengan pengertian bahwa makin
sedikit pendukungnya, makin kecil tingkat upacaranya. Makin banyak
pendukungnya makin besar tingkat upacaranya.
Contoh yang bisa dikemukakan adalah
upacara maha agung Eka Dasa Rudra di Besakih di mana pendukungnya adalah
Pemerintah dan warga seluruh Bali bahkan Nusantara. Sementara pecaruan
di rumah tangga cukup dengan bentuk yang kecil misalnya panca sata atau
eka sata.
4. Yadnya diselenggarakan berdasarkan
hasil musyawarah Tri Manggalaning Yadnya, setelah mempertimbangkan
hal-hal di atas. Kesepakatan ini diwujudkan dengan upacara “Mejauman” di
mana Hyang Widhi-lah sebagai saksinya. Artinya setelah upacara
mejauman, Tri Manggalaning Yadnya terikat untuk memenuhi kewajiban atau
swadharmanya.
Setelah memahami keempat faktor itu maka masing-masing Tri Manggalaning Yadnya seyogyanya mempunyai paradigma sebagai berikut:
1. Sang Adruwe Karya janganlah
menonjolkan segi-segi “demonstration effect” misalnya memaksakan diri
berupacara yang besar karena merasa dirinya berasal dari keluarga
keturunan “Triwangsa” atau “Soroh” tertentu, atau mempunyai status
sosial tinggi.
Selanjutnya ia hendaknya pandai memilih
partner yang cocok baik dari Sang Widia maupun dari Sang Sadaka. Ia juga
sebaiknya memahami tattwa-tattwa tentang upacara yang akan
diselenggarakan, agar dapat berkomunikasi dengan baik kepada Sang Widia
dan Sang Sadaka.
Seandainyapun ia mempunyai kekayaan yang
besar alangkah baiknya kekayaan itu tidak digunakan untuk
kepentingannya sendiri antara lain dengan membangun upacara agung;
alangkah mulianya bila kekayaannya itu didana-puniakan kepada fakir
miskin, orang tua jompo, anak-anak cacat, dll. sehingga ia dapat
melaksanakan “Drwya yadnya”
2. Sang Widia diharapkan tidak “menjual”
banten dengan harga tinggi di mana di dalamnya ada unsur-unsur mendapat
keuntungan yang banyak. Tugas sebagai Sang Widia adalah sangat mulia
karena melaksanakan kedharmaan; janganlah kemuliaan ini dicemari dengan
sifat-sifat sad-ripu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Ia diharapkan memberikan pertimbangan
tentang jenis-jenis banten yang perlu-perlu saja sesuai dengan tujuan
upacara, jangan menambah-nambah volume banten. Ia juga berkewajiban
mengajar cara membuat banten kepada sesama warga Hindu.
3. Sang Sadaka sebagai seorang Adhi Guru
Loka hendaknya dapat memberikan petunjuk baik kepada Sang Widia maupun
kepada Sang adruwe karya tentang cara-cara berupacara yang murah, namun
tetap dalam jalur tattwa Agama. Jauhkanlah warga dari kebiasaan “Gugon
Tuwon”, apalagi dengan memberi penjelasan “Anak mula keto”.
Sudah saatnya generasi muda diberikan
penjelasan-penjelasan menurut sastra-sastra Agama yang pasti, sehingga
tidak menimbulkan keraguan di kalangan warga. Hakekat tugas seorang
Sadaka adalah menjalankan perintah Hyang Widhi, mengabdi kepada warga,
memberikan kedamaian, keteduhan, dan kebahagian lahir batin.
Beberapa kiat berupacara yang murah dan
baik sudah mulai nampak di beberapa daerah, misalnya dengan melaksanakan
upacara kolektif baik untuk upacara pitra yadnya, mepandes, nyapuh
legger, dll.
Cara berupacara seperti ini meringankan
biaya karena biaya banten ditanggung bersama. Makin banyak pesertanya,
makin rendah biayanya perorang. Lingkup kolektifitasnya bisa Dadia,
Banjar, dan Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar