Senin, 22 Juli 2013

Berupacara Dengan Biaya Murah

Berupacara Dengan Biaya Murah

Upacara adalah salah satu dari tiga kerangka Agama Hindu. Dua lainnya adalah Tattwa dan Susila.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bagaikan sebutir telur, Tattwa diibaratkan sebagai sari telur yang berwarna kuning, Susila diibaratkan sebagai putih telur, dan Upacara diibaratkan sebagai kulit telur.
Tattwa adalah pengetahuan mengenai inti ajaran Agama Hindu (Weda), dan Susila adalah pelaksanaan tattwa dalam kehidupan manusia sehari-hari. Upacara terdiri dari dua kata, yaitu upa artinya berhubungan dengan, dan cara artinya gerakan. Jadi arti bebasnya adalah pelaksanaan suatu yadnya.
Yadnya artinya pengorbanan suci yang tulus ikhlas, secara luas dapat digolongkan dalam dua bentuk. Bentuk pertama, yaitu yadnya yang dilaksanakan karena adanya Tri Rnam dan bentuk kedua adalah yadnya yang dilaksanakan karena kewajiban sosial inter-aktif.
Tri Rnam adalah tiga jenis hutang manusia sebagai akibat kelahiran dan keberadaannya sebagai manusia yang berpengetahuan, yaitu hutang kepada Dewa (Hyang Widhi), Rsi, dan Pitara.
Ketiga Rnam itu masing-masing di-”bayar” dengan yadnya sebagai berikut: Dewa yadnya dan Bhuta yadnya untuk membayar Dewa Rnam, Rsi yadnya untuk membayar Rsi Rnam, selanjutnya Pitra yadnya dan Manusa yadnya untuk membayar Pitra Rnam.
Bentuk yadnya yang kedua adalah Drwya yadnya (ber-dana punia), Jnana yadnya (mengajar, berdharma wacana/ dharma tula) dan Tapa yadnya (pengendalian diri oleh setiap manusia).
Upacara banyak berkaitan dengan yadnya bentuk pertama yang umumnya disebut sebagai Panca Yadnya. Dalam Manawa Dharmasastra buku ke-tiga (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 80 ditulis:
RSAYAH PITARO DEWA BHUTANI, ATITHAYASTATHA, ACASATE KUTUMBIBHI, ASTEBHYAH KARYAM WIJANATA.
Artinya: Para Rsi, para Pitra (leluhur), para Dewa, para Bhuta dan para Tamu (manusia) meminta persembahan dan pemberian kepada kepala rumah tangga, oleh karena itu ia yang tahu hukumnya harus memberikan kepada mereka apa yang sesuai untuk masing-masingnya.
Pasal ini menegaskan bahwa Panca Yadnya merupakan kewajiban yang rutin bagi seorang kepala keluarga.
Dalam putaran kehidupan sehari-hari terasa adanya kebenaran tentang kewajiban yang rutin ini, dimulai sejak seorang perjaka menikah dengan upacara pawiwahan, kemudian setelah istrinya hamil melaksanakan upacara magedong-gedongan, ketika anaknya lahir berturut-turut dilaksanakan upacara mapag rare, kepus puser, tutug kambuhan, tiga bulanan, dan otonan.
Setelah anaknya dewasa ada upacara ngraja sewala dan metatah.
Di samping itu sebagai seorang kepala keluarga ia membimbing anak istrinya melaksanakan upacara yadnya yang lain misalnya: Dewa, Rsi, dan Bhuta yadnya. Kemudian kewajibannya sebagai suputra yakni menyelenggarakan pengabenan bagi orang tuanya, semuanya melengkapi tugasnya melaksanakan upacara Panca Yadnya.
Frekwensi berupacara cukup tinggi bagi setiap kepala keluarga, sehingga untuk penduduk di satu Desa seolah-olah tiada hari tanpa upacara. Belum lagi jika dihitung banyaknya warga Hindu yang mempunyai kewajiban yang sama di seluruh Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi Bali.
Mampukah penduduk beragama Hindu di Bali melaksanakan kewajibannya itu? Jika diteliti lebih jauh banyak warga kita yang tidak mampu melaksanakan upacara yadnya karena ketiadaan dana. Apa yang terjadi jika beberapa jenis upacara yadnya diabaikan?
Sebagaimana diuraikan di atas, upacara yadnya dilaksanakan karena adanya Tri Rnam. Jika Rnam (hutang) tidak dibayar kita yakin kehidupan manusia di alam skala dan niskala akan terganggu. Ambillah contoh jika anak tidak diupacarai tiga bulanan pada waktunya; ia akan cuntaka berkepanjangan.
Contoh lain, bayi yang lahir dari ibu yang belum dikawini secara sah melalui upacara pawiwahan disebut anak “dia-diu” yang cuntaka selamanya. Ada lagi orang tua yang meninggal dunia namun belum melaksanakan upacara mepandes bagi anak-anaknya, maka arwahnya tidak akan mendapat tempat di sunia loka.
Anak yang tidak menyelenggarakan upacara pitra yadnya bagi orang tua atau leluhurnya digolongkan sebagai anak yang tidak berbakti dan jauh dari ajaran agama Hindu.
Kebimbangan dan kekhawatiran pada sementara warga Hindu di Bali yang disebabkan karena di satu sisi sadar akan pentingnya menyelenggarakan upacara yadnya dan di sisi lainnya tidak mampu membiayai upacara, telah menimbulkan berbagai fenomena.
Ada yang bersikap apatis, dan ada yang bersusah payah mengumpulkan dana dengan berbagai jalan demi untuk berupacara. Kelompok yang terakhir ini mungkin saja mengabaikan segi-segi yang mendasar pada agama Hindu, misalnya mengusahakan dana dengan jalan KKN atau melalui judian (tajen).
Tidak sedikit ditemukan ada warga masyarakat yang membangun dan berupacara di suatu Pura dari hasil pungutan tajen selama bertahun-tahun.
Keluarga-keluarga yang hidupnya pas-pasan, jika berupacara dengan biaya mahal akan dapat meniadakan kesempatannya menabung untuk kesejahteraan di masa depan baik bagi dirinya maupun bagi anak cucunya.
Sering kita lihat warga yang melaksanakan upacara ngaben mendapat dana dari hasil menjual sawah ladangnya. Jika hal ini tidak diperhatikan mungkin saja di masa depan Agama Hindu di Bali akan berkurang popularitasnya karena dianggap Agama yang ritualnya sulit, dan mahal.
Kini sudah waktunya tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung dalam melaksanakan suatu upacara yadnya memperhatikan dan memikirkan jalan keluarnya, yaitu bagaimana agar warga Hindu kita di Bali tetap dapat melaksanakan upacara yadnya dengan baik.
Tokoh-tokoh itu disebut sebagai “Tri manggalaning yadnya”, yaitu: Sang adruwe karya, Sang widia atau yang pandai membuat banten, dan Sang Sadaka atau Sulinggih yang muput karya. Ketiga tokoh ini mempunyai peranan yang menentukan atas sukses tidak suksesnya suatu upacara, dan mahal atau murahnya biaya upacara yadnya.
Secara umum dapat dipedomani beberapa faktor sebagai berikut:
1. Oleh karena landasan ideal suatu yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus ikhlas maka yadnya hendaknya diselenggarakan menurut kemampuan riil yang ada, baik menyangkut Desa, Kala, maupun Patra.
Yang dimaksud dengan Desa adalah penggunaan bahan-bahan upakara yang ada atau dimiliki; Kala adalah waktu yang tersedia bagi penyelenggaraan upacara, dan Patra adalah kemampuan dana yang riil.
2. Berdasar pemahaman butir 1 itu maka volume upakara (banten) dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu: alit, madya, dan ageng.
Penggolongan ini semata-mata berdasarkan desa-kala-patra dan tidak berarti bahwa banten yang alit nilainya lebih rendah daripada yang madya atau ageng, demikian pula sebaliknya, banten yang ageng tidak berarti lebih tinggi nilainya dari yang alit atau madya.
3. Besar-kecilnya tingkat upacara tergantung pula dari banyak tidaknya warga yang mendukung, karena setiap upacara yadnya akan melibatkan warga dalam kelompok tertentu.
Dalam hubungan ini dapat digambarkan sebagai bentuk piramida yang terbalik dengan pengertian bahwa makin sedikit pendukungnya, makin kecil tingkat upacaranya. Makin banyak pendukungnya makin besar tingkat upacaranya.
Contoh yang bisa dikemukakan adalah upacara maha agung Eka Dasa Rudra di Besakih di mana pendukungnya adalah Pemerintah dan warga seluruh Bali bahkan Nusantara. Sementara pecaruan di rumah tangga cukup dengan bentuk yang kecil misalnya panca sata atau eka sata.
4. Yadnya diselenggarakan berdasarkan hasil musyawarah Tri Manggalaning Yadnya, setelah mempertimbangkan hal-hal di atas. Kesepakatan ini diwujudkan dengan upacara “Mejauman” di mana Hyang Widhi-lah sebagai saksinya. Artinya setelah upacara mejauman, Tri Manggalaning Yadnya terikat untuk memenuhi kewajiban atau swadharmanya.
Setelah memahami keempat faktor itu maka masing-masing Tri Manggalaning Yadnya seyogyanya mempunyai paradigma sebagai berikut:
1. Sang Adruwe Karya janganlah menonjolkan segi-segi “demonstration effect” misalnya memaksakan diri berupacara yang besar karena merasa dirinya berasal dari keluarga keturunan “Triwangsa” atau “Soroh” tertentu, atau mempunyai status sosial tinggi.
Selanjutnya ia hendaknya pandai memilih partner yang cocok baik dari Sang Widia maupun dari Sang Sadaka. Ia juga sebaiknya memahami tattwa-tattwa tentang upacara yang akan diselenggarakan, agar dapat berkomunikasi dengan baik kepada Sang Widia dan Sang Sadaka.
Seandainyapun ia mempunyai kekayaan yang besar alangkah baiknya kekayaan itu tidak digunakan untuk kepentingannya sendiri antara lain dengan membangun upacara agung; alangkah mulianya bila kekayaannya itu didana-puniakan kepada fakir miskin, orang tua jompo, anak-anak cacat, dll. sehingga ia dapat melaksanakan “Drwya yadnya”
2. Sang Widia diharapkan tidak “menjual” banten dengan harga tinggi di mana di dalamnya ada unsur-unsur mendapat keuntungan yang banyak. Tugas sebagai Sang Widia adalah sangat mulia karena melaksanakan kedharmaan; janganlah kemuliaan ini dicemari dengan sifat-sifat sad-ripu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Ia diharapkan memberikan pertimbangan tentang jenis-jenis banten yang perlu-perlu saja sesuai dengan tujuan upacara, jangan menambah-nambah volume banten. Ia juga berkewajiban mengajar cara membuat banten kepada sesama warga Hindu.
3. Sang Sadaka sebagai seorang Adhi Guru Loka hendaknya dapat memberikan petunjuk baik kepada Sang Widia maupun kepada Sang adruwe karya tentang cara-cara berupacara yang murah, namun tetap dalam jalur tattwa Agama. Jauhkanlah warga dari kebiasaan “Gugon Tuwon”, apalagi dengan memberi penjelasan “Anak mula keto”.
Sudah saatnya generasi muda diberikan penjelasan-penjelasan menurut sastra-sastra Agama yang pasti, sehingga tidak menimbulkan keraguan di kalangan warga. Hakekat tugas seorang Sadaka adalah menjalankan perintah Hyang Widhi, mengabdi kepada warga, memberikan kedamaian, keteduhan, dan kebahagian lahir batin.
Beberapa kiat berupacara yang murah dan baik sudah mulai nampak di beberapa daerah, misalnya dengan melaksanakan upacara kolektif baik untuk upacara pitra yadnya, mepandes, nyapuh legger, dll.
Cara berupacara seperti ini meringankan biaya karena biaya banten ditanggung bersama. Makin banyak pesertanya, makin rendah biayanya perorang. Lingkup kolektifitasnya bisa Dadia, Banjar, dan Desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar