Wanita di Bali bekerja sama kerasnya dengan para lelakinya.
Dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan bahwa Wanita Bali adalah wanita pekerja. Yang
bekerja keras demi sesuap nasi untuk bisa tetap hidup walau ditengah-tengah
perekonomian yang serba tidak menentu ini. Seperti penjual dipasar
tradisional Bali, ratusan wanita-wanita baik tua maupun muda mengadu nasibnya
dengan berjualan sembako, canang dll. Tidak pernah menghiraukan penampilan dan
tetap berjualan dibawah teriknya sinar matahari. Belum cukup sampai disitu,
setelah usai berjualan, pekerjaan rumah pun sudah kembali menanti. Membuat
banten (sesajen) untuk hari piodalan(hari suci) adalah salah satu contohnya.
Bali terkenal sekali dengan adatnya yang kuat dimana hampir setiap hari terdapat
hari-hari suci agama Hindu untuk menyembah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Jadi Wanita Bali adalah salah satu faktor yang mampu menjaga kekentalan adat
Bali. Disini saya rasa hanya beberapa Wanita Indonesia yang bisa menandinginya.
Mengapa kebanyakan wanita di Bali bekerja?
Saya berpikir, bahwa tatanan masyarakat Bali yang memang mengusung system Patrilinear yang kuat merupakan salah satu pemicunya. Sepintas lalu, tatanan ini jika dipandang dari luar akan terlihat agak tidak adil terhadap kaum wanita. Lelaki menerima warisan keluarga. Lelaki pula yang menerima tanggungjawab keluarga. Wanita mengikuti laki-laki. Saat seorang wanita Bali menikah, saat itu pula ia masuk ke keluarga suaminya dan memiliki hak & kewajibannya yang baru sebagai istri di keluarga suaminya. Ia tak perlu membawa harta keluarganya, karena toh ia akan mengelola harta warisan yang diterima suaminya . Jadi sebenarnya , tidak ada wanita di Bali yang merasa perlu mempermasalahkan soal harta warisan ini. Karena merasa telah cukup adil. Namun, hal yang lebih penting bagi wanita adalah bagaimana menjaga martabat & nama baik keluarganya sendiri di mata keluarga suaminya. Nah, disinilah rupanya letak permasalahan yang sesungguhnya.
Bagi sebuah keluarga yang anak perempuannya masuk ke dalam keluarga lain, dengan sendirinya anak perempuan itu akan menjadi cermin alias perwakilan dari keluarganya. Baik buruknya martabat si anak perempuan akan dijadikan barometer oleh keluarga pihak laki untuk menilai martabat keluarga pihak perempuan. Oleh sebab itu, maka keluarga perempuan akan berusaha membuat anak perempuannya menjadi representer yang baik, yang akan membawa nama baik keluarga. Semua hal yang akan menjadi kunci parameter bagi penilaian seorang anak perempuanpun berusaha disiapkan dengan baik oleh keluarganya. Semua skill yang kelak dibutuhkan, tata karma, sopan santun dst hingga urusan menghasilkan pendapatan pun dipersiapkan dengan sebaik mungkin bagi anak perempuannya.
Saya masih ingat, bagaimana ayah dan ibu saya selalu dengan keras soal tata karma dan tata susila serta mengajarkan saya dan kakak perempuan saya tentang pentingnya mandiri sebagai perempuan. Belajar yang baik agar menjadi yang paling pintar di sekolah. Lalu bekerja dengan baik atau mencari ide sekreatif mungkin agar memiliki penghasilan sendiri dan tidak perlu meminta kepada suami di kemudian hari, apalagi menyusahkan suami dan keluarganya. Di mata ibu dan ayah saya, jika anak perempuannya menjadi istri yang menyusahkan suami dan keluarganya adalah haram hukumnya.
“Jangan sampai hanya untuk membeli pakaian dalammu sendiripun engkau tak mampu dan harus menadahkan tangan pada suamimu” katanya berulang ulang setiap kali saya duduk didepannya. Atau kali berikutnya ayah saya akan mengatakan “ Bapak tidak ingin mendengar mertuamu nanti berkata ‘ Sekad cening dini, ludes kesugihan bapane telahang cening (maksudnya Nak, sejak kamu di sini habis harta kekayaanku telah kamu pergunakan)’. Pastikan engkau belajar dengan baik agar kelak nanti bisa mencari makan sendiri, jangan sampai menyusahkan suami atau mertua’’.
Saya dan kakak peremuan saya hanya terdiam saja setiap kali ayah saya bicara soal itu. Dan kamipun tahu, nasihat itu akan diulang ulang terus beratus- ratus kali hingga kami hapal dan bosan mendengarnya. Walhasil akibat dari itu semua, maka bagi saya dan kakak perempuan saya bersekolah & bekerja yang baik serta menghasilkan pendapatan sendiri adalah sebuah keharusan dalam hidup. Bukan sebuah pilihan. Saya rasa, itu pula yang dialami kebanyakan wanita lain di Bali, sehingga membuat lapangan pekerjaan apapun akhirnya diisi oleh para wanita tanpa ragu ragu dan malu, tanpa memikirkan lagi jenis pekerjaannya yang penting masih dalam koridor moral yang baik. Mulai dari pekerjaan yang sifatnya lebih feminine seperti perawat, menjahit, bekerja di salon dsb) hingga lapangan kerja yang normalnya di daerah lain di lakukan hanya oleh laki-laki (buruh bangunan, bekerja di sawah, buruh jalanan dsb. Jadi yang saya lihat di sini, akibat hukum Patrilinear ini, bukan saja telah mampu memicu emansipasi wanita dengan baik, bahkan dengan sangat sangat baik. Dimana para wanita di Bali bukan saja mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan dan pekerjaan yang setara dengan para lelaki, tetapi juga beremansipasi dalam paket sepenuhnya. Artinya, wanita tidak hanya beremansipasi dengan menuntut haknya yang baik baik saja, namun juga tidak menolak jika harus menerima pekerjaan yang sama beratnya dengan pria. Misalnya menjadi buruh jalananpun bersedia.
Mengapa ada yang berpendapat bahwa Wanita Bali bekerja lebih keras dari para Prianya?
Pertama kali mendengarkan pertanyaan ini, terus terang saya bingung. Aneh! Mengapa ada orang yang berpendapat seperti itu? Darimana datangnya? Belakangan barulah saya tahu, bahwa pertanyaan itu datang dari banyak potret pria Bali di desa yang mengelus elus ayam kesayangannya dipinggir jalan. Sedangkan di saat lain ada potret wanita Bali terlihat sedang bekerja mengolah aspal di bawah terik matahari jalanan. Sehingga gambaran yang timbul bagi penonton luar adalah, para wanita bekerja keras sementara para lelaki mengelus-elus ayam aduannya. Saya tertawa mengetahui pemahaman sepihak yang tidak adil bagi pria ini.
Masyarakat pedesaan di Bali, penduduknya sebagian masih berprofesi di bidang aggraria. Para lelaki bangun pagi-pagi buta saat hari masih gelap untuk bekerja di sawah dan mengatur aliran air sesuai dengan kesepakatan Subak (oranisasi pengaturan air secara traditional di Bali) dan segera kembali ke rumah begitu matahari menanjak naik. Karena tugas paginya telah selesai, tentu saja para lelaki sekarang boleh bersantai sejenak mengelus-elus ayam aduannya. Sementara saat itu barulah para wanitanya mulai beraktifitas. Rupanya suasana inilah yang tertangkap oleh banyak pengunjung dari luar Bali yang kebetulan melintas pada jam jam ini., termasuk para penangkap gambar atu photographer, sehingga tak pelak kesan bahwa pria Bali lebih santai dibanding wanitanya pun mudah terpupuk dari sini.
Padahal faktanya tidak demikian. Pria yang sedang bersantai mengelus ayam kesayangannya bukanlah berarti dia adalah seorang pria pemalas. Dia hanya pria yang sedang menikmati waktu luangnya sebelum berangkat bekerja keras lagi beberapa jamnya kemudian. Pria Bali juga bekerja sama kerasnya dengan para wanitanya, sama kerasnya dengan pria dari suku lain di Indonesia. Tidak ada perbedaan yang berarti.
Jadi, sebenarnya Emansipasi telah berjalan dengan alami di Bali. Terus terang dengan kondisi seperti ini, sejak kecil saya tidak pernah merasakan ketimpangan yang berarti bagi wanita di Bali. Kesetaraan telah ada di situ. Persamaan hak dan kewajiban juga telah ada di situ. Apalagi?
Lebih lanjut ketika berbicara emansipasi, pada akhirnya emansipasi memang telah diterima sebagai satu paket di Bali. Wanita di Bali bukan hanya mau menuntut bagian ‘enak & mudah’nya saja dari sebuah emansipasi, namun harus juga menerima satu paket berikut dengan ketidakenakannya (misalnya bekerja sama keras/kasarnya dengan para lelaki). Itulah nilai satu paket emansipasi.
Jadi kalau pria menjadi dokter, wanita juga mau menjadi dokter, pria menjadi polisi wanita juga menjadi polisi, pria menjadi pemimpin agama wanita juga menjadi pemimpin agama. Dan jika pria menjadi buruh jalanan, mengapa wanita harus tidak mau menjadi buruh kasar juga? Bukankah wanita menuntut kesetaraan dengan laki-laki? Sekarang juga sudah banyak sekehe gong Wanita, yang dulunya hanya kaum pria yang menabuh gong. Saya pikir daripada melakukan pekerjaan yang mudah namun merendahkan martabat keluarga dengan melacurkan diri guna mencari uang, memilih menjadi buruh jalanan tetap jauh lebih terhormat.
Disatu sisi, ada juga Wanita Bali
modern yang maju. Dengan penampilan anggun, cantik tanpa menghilangkan adat
Bali tetap mampu bersaing dengan Wanita Indonesia pada umumnya. Benar atau
tidaknya tulisan saya ini mohon beri masukan. Silahkan berkomentar bila ingin
menambahkan, mengurangi, menyalahkan atau membenarkan hal ini. Untuk Wanita
Bali, tetap lakukan yang terbaik untuk Bali dan Indonesia pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar