Awalnya
bumi diciptakan berupa air. Di atas air Dewa Wisnu beryoga; kemudian dari
pusar-Nya keluar bunga teratai. Dari bunga teratai keluarlah Dewa Brahma.
Ketika Dewa Brahma bertanya tentang diri-Nya, Wisnu menjelaskan bahwa Brahma
dilahirkan oleh-Nya, namun Brahma menyangkal.
Di
saat pertentangan Wisnu dan Brahma memuncak tiba-tiba muncul sebuah Lingga yang
besar dan sangat tinggi. Wisnu dan Brahma bertarung untuk membuktikan kesaktian
masing-masing dengan cara menemukan pangkal dan puncak Lingga.Wisnu mencari
pangkal Lingga; untuk itu Ia berubah menjadi seekor babi.
Brahma
mencari puncak Lingga, untuk itu Ia berubah menjadi seekor angsa. Keduanya tak
berhasil dan seketika hadirlah Dewa Siwa seraya menjelaskan bahwa Mereka
bertiga adalah Brahman yang Maha Tunggal di mana segala penciptaan dilaksanakan
oleh Brahma, pemeliharaan oleh Wisnu, dan pemusnahan oleh Siwa.
Setelah
itu Siwa berubah menjadi Mahakala yang sangat kuat, penguasa ruang, waktu, usia
dan takdir sehingga dinamakan Mahamrtyunjaya, atau penguasa kematian. Untuk
memancarkan energinya, Mahakala lalu menjadi Surya yang mempunyai kekuatan
penghancur.
Di
lain pihak Brahma sebagai pencipta berupaya mengurangi kekuatan Surya agar
kehidupan dapat terwujud. Untuk itu Brahma bersama putra-putranya: Kurdama,
Daksa, Marici dan Kasyapa menyerap sebagian energy Surya. Kurdama, Daksa dan
Marici menciptakan tumbuh-tumbuhan.
Tumbuh-tumbuhan
menyerap sari-sari bumi dan energi Surya digunakan untuk mengembangkan batang,
daun, bunga dan buah. Dengan demikian maka tumbuh-tumbuhan bisa berkembang
biak. Kasyapa menciptakan binatang pemakan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena
tumbuh-tumbuhan menyerap sari-sari bumi, maka Surya masuk ke bumi.
Bumi
menjadi berlapis-lapis, dari lapisan pertama di permukaan sampai lapisan ke
tujuh di pusat bumi, masing-masing bernama: Patala, Witala, Nitala, Sutala,
Tatala, Ratala, dan Satala. Di lapisan-lapisan itu terjadilah pembakaran oleh
Surya yang menghasilkan batu mulia, minyak, gas, dan berbagai fosil.
Di
lapisan paling dalam (Satala) energi Surya terpusat menjadi cairan yang sangat
panas, disebut Bedawang. Untuk menjaga kestabilan bumi dan juga agar Bedawang
yang merupakan inti panas bumi tidak muncrat keluar, maka Bedawang dibelit dua
ekor naga yakni Naga Basuki dan Naga Anantaboga.
Dengan
kondisi seperti ini maka Surya atau Mahakala yang mempunyai energi sangat besar
dapat dikendalikan. Bumi selanjutnya menjadi dingin dan air berangsur-angsur
menyurut, membeku dan terkonsentrasi di kutub utara dan di kutub selatan.
Timbullah daratan atau benua yang luas.
Akhirnya
manusia diciptakan oleh Sanghyang Widhi dari Panca Mahabhuta, yaitu: tanah
(pertiwi), air (apah), angin (bayu), surya (teja) dan atmosphere (akasa).
Reg
Weda, Mandala VIII, Sukta 4.5:
AYO YONIM DEVAKRTAM SASADA KRATVA HY
AGNIR AMRTAM ATARIT TAM OSADHIS CA VANINAS CA GARBHAM BHUMIS CA
VISVADHAYASAMBIBHARTI
Mahluk
hidup, pepohonan dan bumi mengandung api. Sanghyang Widhi yang mencipta
segalanya ini sebagai sumber. Ia menempatkan diri sesuai yang direncanakan
alam. Semoga Dia sebagai salah satu fungsi-Nya menerima penghormatan kami atas
kekuatan-Nya yang abadi.
Manusia
yang kemudian tercipta setelah adanya tumbuh-tumbuhan dan binatang, menikmati
kamadhuk atau alam semesta bagi kehidupannya. Populasi manusia kemudian
bertambah banyak dan kepandaiannyapun makin berkembang. Manusia bisa membuat
api yang tersimpan di tetumbuhan dan di bumi.
Pembakaran-pembakaran,
penggalian tanah, dan penebangan hutan dilakukan sehingga kekuatan Mahakala
yang tersimpan kini bangkit dan energynya mencairkan es di kedua kutub.
Permukaan air laut pun meninggi dan terbentuklah pulau-pulau yang tadinya
berupa daratan atau benua.
Manusia
pada mulanya hidup dari hasil pertanian dan peternakan. Ketika itu keharmonisan
hubungan manusia dengan alam terjaga baik, karena manusia sangat berkepentingan
pada kelestarian alam.
Pola
hidup sebagai petani diliputi nilai-nilai spiritual, karena keyakinan bahwa
Sanghyang Widhi telah menganugrahkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Tanah,
tetumbuhan, binatang, dan sumber-sumber air dihormati dan disayangi, dijaga
kelestariannya dan disakralkan dengan menstanakan Wisnu dalam berbagai bentuk manifestasi-Nya.
Keyakinan
yang menjadi kepercayaan seperti ini berlanjut turun temurun, sampai pada abad
ke-19 di saat mana manusia mulai berpikir lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Revolusi
industri kemudian bergulir ke seluruh dunia, mengajarkan pola hidup manusia
yang baru, yang mengabaikan kesakralan tanah, air, tetumbuhan, dan
binatang-binatang. Tiada lagi rasa bersalah atau berdosa karena merusak tanah
demi kepentingan usaha-usaha: industri, perdagangan, jasa-jasa, atau untuk real
estate/ pemukiman.
Tetumbuhan
makin berkurang, mata air berkurang, dan bumi dibor untuk pertambangan dan
penggalian sumur-sumur minyak bumi, batu bara, dan gas. Pertanian yang tadinya
menggunakan pupuk organik diganti dengan pupuk kimia, sehingga tetumbuhan
menderita keracunan pada akar, batang, daun dan buah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar