Minggu, 08 September 2013

Menjaga Kesucian Pura

Menjaga Kesucian Pura

Sebuah pertanyaan menggelitik pernah diajukan kepada saya oleh seorang pemuda dengan jujur dan terbuka: “Mengapa Pura harus dijaga kesuciannya, dan apa pula kriteria kesucian itu” dilanjutkan dengan pertanyaan yang lehih sulit dijawab: “Bukankah Sanghyang Widhi ada di mana-mana, walaupun di tempat kotor dan nista sekalipun?”
Pertanyaan anak muda ini tentu tak bisa diabaikan hanya dengan menjawab singkat “Ya, memang harus begitu!”
Saya menjawab dengan mulai menembangkan Kekawin Arjuna Wiwaha X.1/98 Mrdhu Komala gubahan Mpu Kanwa:
ONG SEMBAHNING ANATHA TINGHALANA, DE TRI LOKA SARANA. WAHYA DHYATMIKA SEMBAHINGULUNI JONG TA, TAN HANA WANEH. SANG LWIR AGNI SAKENG TAHEN, KADI MINYAK SAKENG DADI KITA. SANG SAKSAT METU, YAN HANA WWANG AMUTER TUTUR PINIHAYU
Terjemahannya: Sanghyang Widhi yang maha suci, lihatlah bhakti hamba yang nista ini, karena Engkau yang menguasai tiga alam (bhur-bhuwah-swah). Nyata dan tidak nyata bhakti hamba kepada-Mu, tiada tandingannya. Engkau laksana api yang keluar dari kayu, bagaikan minyak yang keluar dari santan. Engkau datang kepada mereka yang sadar akan kehadiran-Mu untuk membawa kebahagiaan.
Perhatikan baris kedua: “wahya dhyatmika sembahingulun” yang mengisyaratkan bahwa sebelum bersembahyang kita telah memenuhi dua syarat utama, yaitu:
1. Wahya, artinya gerak atau sikap nyata meliputi cara berjalan, sikap duduk, sikap tangan, nafas teratur, dan alat-alat pemujaan yang bersih dan baik.
Kriterianya meliputi antara lain: tubuh yang bersih/ sudah mandi, pakaian yang bersih dan sopan, banten atau canang yang sesuai sebagai persembahan.
Di samping itu suasana diciptakan secara kondusif untuk mendukung konsentrasi bersembahyang. Rangsangan berupa dupa, dipa, kidung, dentingan gentha, alunan puja-mantra, dan gambelan yang sesuai menebarkan vibrasi kesucian dan sangat baik untuk mengupayakan jalinan atman pada Brahman.
2. Dhyatmika, artinya kondisi batin yang baik dan siap untuk bersembahyang, yaitu: tenang, damai, pengabdian yang tulus, dan konsentrasi penuh dalam memuja Sanghyang Widhi.
Oleh karena itu PHDI dalam Keputusan Seminar ke-IV tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tanggal 17 s/d 20 April 1978 mengatur Tata-Cara masuk Pura, sebagai berikut:
Dilarang masuk Pura bagi orang-orang yang:
  1. Dalam keadaan datang bulan (wanita), baru melahirkan atau aborsi yang belum selesai masa cuntaka/ sebel – nya.
  2. Berhalangan kematian atau cuntaka karena sebab lain
  3. Tidak mentaati ketentuan masuk Pura
  4. Menderita cacat fisik yang permanen.
  5. Berpakaian tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh/ aurat.
  6. Bercumbu, berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki, bergosip, menyusui bayi, meludah, buang air, mencorat-coret pelinggih-pelinggih, dan lain-lain.
  7. Yang tidak mempunyai kepentingan bersembahyang atau yang berkaitan dengan acara/ upacara di Pura.
Kitab suci Atharvaveda X11.1.38 menyatakan:
YASYAM SADOHA VIRDHANE YUPO YASYAAM NIMIYATE, BRAHMANO YASYAMARCANTYURGBHIH SAMNA YAJURVIDAH, YUJYANTE YASYAMRTVIJAH SOMAM INDRAYA PATAVE
Artinya: di tempat-tempat suci, di mana didirikan Pura tempat para brahmana yang menguasai yayurveda memuja Tuhan dengan Rgveda dan merapalkan Samaveda, di sanalah Tuhan rnelimpahkan kebahagiaan dan keselamatan bagi umat manusia.
PHDI dalam Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 mengeluarkan Bhisama tentang kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi: gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut.
Selain itu kawasan suci meliputi pula lingkungan lokasi Pura yang ditetapkan dengan jarak dalam istilah: apenimpug, apeneleng, apengambuhan, dan apenyengker.
Apenimpug adalah jarak yang diperoleh dengan melemparkan batu sebesar genggaman tangan orang dewasa (sekitar 50 meter). Apeneleng adalah jarak batas kemampuan mata memandang. Apengambuhan adalah jarak terciumnya bau yang tidak sedap akibat berbagai aktivitas manusia. Apenyengker adalah batas tembok Pura.
Maksudnya lingkungan Pura dalam jarak tertentu agar dijaga tidak tercemar, yang bisa mengganggu konsentrasi umat yang bersembahyang di Pura, baik dalam bentuk pandangan, penciuman, bunyi-bunyian, yang tidak ada hubungannya dengan upacara persembahyangan.
Dalam Lontar Bomantaka dan Lontar Sanghyang Aji Swamandala, diatur tentang tata-letak Pura, di mana area Pura dibagi menjadi tiga bagian, yaitu utama mandala, madya mandala, dan nista mandala.
Utama mandala adalah bagian yang paling sakral karena di sinilah letak bangunan-bangunan utama seperti Padmasana, Meru, Pangrurah, Gedong, dan lain-lain.
Madya mandala adalah tempat menyiapkan sesajen dan menenangkan pikiran sebelum masuk ke utama mandala. Nista mandala adalah halaman bebas, dapur umum, kamar mandi/ wc, tempat parkir kendaraan, tempat istirahat, dan lain-lain.
Dari nista mandala ke madya mandala dibatasi dengan gerbang yang bernama candi bentar yang bermakna sebagai mengingatkan umat tujuan datang ke Pura yaitu menyembah Sanghyang Widhi dalam wujud-Nya sebagai ardhanareswari, yaitu dua yang selalu berbeda, sesuai simbol candi bentar yang di kiri-kanan mengapit jalan masuk.
Dari madya mandala ke utama mandala dibatasi dengan gerbang yang disebut paduraksa yang bermakna membulatkan keyakinan untuk bersembahyang. Pintu paduraksa kecil, maksudnya agar pengunjung tidak berdesakan, melainkan masuk satu-persatu dengan tertib.
Di atas pintu paduraksa ada Bhoma sebagai simbol pensucian atau panglukatan, sehingga bila masuk ke Pura melewati paduraksa, otomatis telah disucikan oleh Sanghyang Bhoma.
Bila masalah kesucian Pura seperti di atas tidak diperhatikan, maka konsentrasi umat bersembahyang terganggu. Bahkan sudah diingatkan dalam Atharvaveda XII.1.38 di atas, bahwa Sanghyang Widhi tidak berkenan menganugrahkan wara nugraha kepada para bhakta.
Kesucian Pura tidak hanya perlu dijaga pada saat upacara-upacara saja, tetapi setiap hari para Jero Mangku yang bersangkutan perlu memperhatikannya dengan seksama. Jika terjadi sesuatu yang melanggar kesucian atau trihitakarana (tiga hal yang menyebabkan kebaikan) perlu segera diadakan pecaruan.
Pelanggaran trihitakarana itu dapat berupa hilangnya keseimbangan dan keharmonisan, baik di bidang parhyangan, pawongan, maupun palemahan.
Parhyangan adalah hubungan yang harmonis dan keseimbangan bhakti antara manusia dengan Sanghyang Widhi. Pawongan adalah hubungan yang harmonis dan seimbang antara sesama manusia atau sesama warga penyungsung Pura. Palemahan adalah hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan alam.
Misalnya bila ada pertengkaran, kekerasan atau perkelahian di Pura, maka unsur pawongan dari trihitakarana telah ternoda. Jika terjadi bencana alam maka yang ternoda adalah unsur palemahan. Mungkin karena sesuatu hal Pura lama tidak diupacarai atau digunakan untuk sembahyang, maka yang terganggu dalam hal ini adalah unsur parhyangan.
Untuk memulihkan kembali kesucian Pura, diadakan pecaruan, karena ‘Caru’ dalam tradisi beragama Hindu di Bali adalah upacara korban untuk mewujudkan trihitakarana, yang pada gilirannya menuju pada kesucian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar