Puputan Margarana, Perang Hebat di Pulau Dewata
Puputan
adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun
yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa
lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang
sampai game over atau titik darah terakhir. Istilah Margarana diambil
dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga,
Tababan-Bali.
Menurut
sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan
termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang
dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan
yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita
transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng.
Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan,
Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah
Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.
Puputan
Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di
Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya
Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia,
maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat
ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi
pada 10 November 1946, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu
poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak
masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
Linggar
jati sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui
Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de
facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat
menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan
militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca
Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Bali. Ini
juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh
Kerajaan Buleleng.
Keadaan
ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian
pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena
berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu
menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah
tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar
membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29
tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Alur
Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung
Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan.
Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus
dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya
berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca
pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan
penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18
November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah
informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda
pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua
kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda
mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga.
Batalion
Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung
Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat
sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing
(sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau
perjalanan mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat
kondisi yang cukup mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih
untuk bertahanan di sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar
saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I
Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda
mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang
tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus
mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira
akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.
Letupan
senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil
Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan
peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai
arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah
Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan.
Sederetan
pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang
digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat
juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi
prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun
jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan,
saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang
habis-habisan hingga nyawa melayang.
Demi
pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali
untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk
membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan
bau darah terbakar akibat seranga udara Belang. Perang sengit di Desa Marga
berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya.
Puputan
Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di
pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan
hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang
ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
Seberapa
banyak anak muda Bali yang tahu kisah Puputan Margarana? Tidak banyak, bahkan
dalam pelajaran sejarah pun hal itu hanya disinggung selintas. Orang tahu bahwa
I Gusti Ngurah Rai adalah pahlawan nasional. Bandara di Bali dinamai Ngurah
Rai, stadion sepak bola di Denpasar dinamai Ngurah Rai. Namun, semangat apa
yang diwariskan oleh Ngurah Rai kepada bangsa ini tak banyak remaja Bali yang
tahu. Cobalah tanya para peserta napak tilas perjalanan Ngurah Rai yang dimulai
dari Kabupaten Jembrana. Para remaja yang mengarak panji-panji simbol
perjuangan Ngurah Rai itu tak tahu harus menangkap semangat apa. Semangat
kepahlawanan? Itu terlalu abstrak. Pantang menyerah? Itu sudah lazim di
kalangan militer. Membela tanah Bali? Itu terlalu kecil buat sekaliber Pak Rai.
I
Gusti Ngurah Rai meninggalkan warisan yang berharga, yakni bagaimana seorang
prajurit profesional memimpin pasukan di lapangan. Tugasnya adalah
mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan di Jakarta. Ia harus
melawan setiap tindakan yang ingin menggagalkan kemerdekaan itu. Ia menolak
melakukan diplomasi, karena tugasnya hanya berperang melawan siapa pun yang
ingin menggagalkan kemerdekaan. Ucapannya tegas, urusan diplomasi adalah urusan
pemimpin di Jakarta, sedangkan urusan di medan perang adalah bagaimana penjajah
hengkang dari bumi Indonesia. Ketika perundingan yang akan dirancang Belanda itu
buntu, perang pun terus berkobar dan Ngurah Rai memerintahkan ''perang
puputan'', perang habis-habisan. Semangat heroik ini saling mengisi dengan
pejuang-pejuang di daerah lain. Yang dibela Ngurah Rai tak sekadar Bali, tetapi
Indonesia yang baru setahun merdeka.
Kepahlawanan
Ngurah Rai dalam memutuskan Puputan Margarana diakui secara nasional dan itu
sebabnya hampir di setiap kota besar ada jalan bernama Ngurah Rai. Namun, di
Bali sendiri, Taman Makam Pahlawan Pancaka Tirta di Desa Marga, tempat para pejuang
itu dulu gugur sebagai kusuma bangsa tak banyak dikunjungi orang. Inilah
kegamangan orang Bali dalam menyikapi adanya taman makam pahlawan. Orang Bali
tak tahu apa yang harus dilakukan di tempat itu. Sekadar mengheningkan cipta
atau ikut menaburkan bunga di setiap makam? Tak heran kalau dulu Taman Makam
Pahlawan di Tabanan lebih populer disebut Taman Bahagia.
Kegamangan
membuat orang Bali enggan ke Taman Makam Pahlawan, karena serba salah. Di Taman
Makam Pahlawan tidak ada makam para pahlawan Bali, lebih-lebih yang beragama
Hindu. Kalau di situ ada makam, status tempat itu tentulah tergolong setra
(kuburan) dan berlaku ketentuan cuntaka (sebel). Lagi pula, kalaupun
nisan-nisan itu digolongkan makam, bagaimana mungkin orang Bali terus-menerus
memuja leluhurnya di kuburan? Karena leluhur yang sudah diaben, berarti sudah
menyatu dengan Hyang Widhi, amor ring acintya, dikenal dengan berbagai sebutan
misalnya Hyang Pitara, Dewata-Dewati dan sebagainya. Sejak upacara Pitra Yadnya
tak ada lagi pemujaan di kuburan. Hyang Pitara distanakan di kemulan, kawitan,
rong tiga, tergantung dresta setempat.
Status
Makam Pahlawan di Bali harus diperjelas agar umat tidak menjadi gamang. Tempat
itu bukan kuburan, dan nisan-nisan yang bertuliskan nama pahlawan itu bukan
makam tempat menanam jenazah, tetapi hanya sebuah simbol. Namanya saja monumen,
jadi nisan itu pun sebuah monumen sebagai simbol bahwa di sana, pada masa lalu,
ada pahlawan yang gugur. Tidak masalah kalau ada orang berdoa di sana, karena
konsep Hindu kita bisa berdoa di mana saja, termasuk berdoa dengan menggunakan
simbol. Cuma rasanya kurang etis kalau kita ke makam pahlawan membawa banten
persembahan seperti sodan atau punjung. Ini bisa menimbulkan banyak tafsiran,
seolah-olah sodan itu diperuntukkan bagi sang pahlawan yang sudah amor ring
acintya. Kalau sesajen itu ditafsirkan sebagai persembahan kepada Hyang Widhi
berkenaan dengan hari peringatan gugurnya sang pahlawan, masih bolehlah
diterima.
Tetapi, sebaiknya tidak
usah membawa sodan ke makam pahlawan, canang sari sudah cukup dan itu pun
sarana persembahyangan kita ke hadapan Hyang Widhi dan bukan untuk pemujaan
leluhur.
Mari kita merayakan
Puputan Margarana dengan mewarisi kepahlawan Ngurah Rai, namun menempatkan
beliau sebagai Hyang Pitara.